Tanpa segan, matahari bersinar di pagi hari itu dengan cerah
merona, seolah hendak memberikan tanda bahwa akan ada kabar gembira yang segera
menghampiri diriku. Tidak seperti hari-hari biasanya, suasana sekolah swastaku
terasa nyaman dan menyenangkan. Udara, pepohonan, lantai lapangan sekolah yang
beralaskan aspal, dan riuh rendah suara warga sekolah saat itu seperti ikut
sepakat dengan tindakan matahari, memberikan kabar gembira.
Aku jalani rutinitas sekolahku
sebagaimana biasanya, namun ada yang berbeda di hari itu. Spesial, hanya
sekali, menggembirakan, sekaligus menggelisahkan.
“Go, lo masuk ipb” kata salah
seorang teman baikku yang juga mendaftar ke IPB, Nenda Andremico namanya.
Suasana kelas yang bising karena
obrolan dan tawa teman-teman sekelasku menyamarkan suaranya sehingga aku
meminta dia mengulang pertanyaannya sekali lagi.
“Ah, yang bener lu Nen?” responku
setelah mendengar repetisi pertanyaannya. Ketika mengatakan itu, perasaanku
bercampur aduk, ada senang, percaya tidak percaya, bingung, dan yang lainnya.
Memang, pada bulan Desember 2009
yang lalu, aku mendaftar ke IPB melalui
jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI), semacam sistem PMDK yang mengandalkan
nilai-nilai dan prestasi siswa mulai dari kelas 10 hingga kelas 12 semester 5 .
Jujur, ketika mendaftar ke IPB, aku agak ragu dan sedikit kecewa karena tempat
kuliah yang aku inginkan bukan di sana. Targetku adalah UNS (Universitas
Sebelas Maret), sebuah Universitas di Solo yang telah aku bicarakan sejak kelas
2 SMA bersama ayah, mulai dari tempat tinggal, biaya makan, transportasi,
hingga sekadar pengalaman teman-teman ayah yang tinggal di Solo dalam rangka
meramal biaya hidupku di sana.
Segera setelah mendengar kabar
kelulusanku di IPB, aku menuju ruang Bimbingan Konseling (BP) yang berada dekat
mushola sekolah, memastikan kebenaran berita tersebut.
“Assalamu’alaykum, maaf ibu, saya Ego Praniki yang dulu daftar USMI
IPB, kelas IPA 2, saya ingin memastikan katanya saya lolos USMI IPB, benarkah?
Tanyaku memburu.
Guru BP yang sedang berada di
ruangan itu, Bu Ida, langsung menyodorkan berkas pemberitahuan kelulusanku. Aku
mengambil kertas itu dan membacanya secara perlahan. Kemudian, pandangan mataku
terhenti pada tujuh digit angka di kolom biaya. Aku melongok melihat jajaran
angka itu dengan perasaan berdebar gelisah. Bagaimana tidak? Tujuh digit angka
itulah yang harus aku setorkan ke IPB, besarnya 8.810.000 rupiah. Nominal yang
sangat fantastis untuk diriku yang termasuk golongan kurang mampu.
Aku senang dan bersyukur bisa lulus
ke IPB, tapi di sisi lain, barisan angka itu membatasi kegembiraanku, membuatku
tercekat menelan ludah ketika melihat dan membayangkannya. “Darimana aku dan
keluarga mendapatkan uang sebanyak itu?” Tanya hatiku kepada otakku.
Pertanyaan-pertanyan lain yang serupa pun terus menghantui benakku di hari-hari
berikutnya.
Kondisi ini memaksaku mencari
alternatif cara agar aku tetap bisa kuliah di PTN ternama, salah satunya dengan
mencari beasiswa. Aku sengaja tidak mencari beasiswa di ruangan BP karena di
sana tidak pernah sekalipun aku menemukan informasi seputar beasiswa, entah apa
penyebabnya, aku tidak mau berprasangka buruk. Akhirnya, aku fokuskan
pencarianku di web. Cukup aku tuliskan kata “beasiswa” di kolom pencarian
Google, beberapa detik kemudian muncul deretan link beasiswa di tahun ini,
bahkan beberapa tahun ke belakang.
Dengan sabar aku buka satu per
satu link beasiswa yang masih aktif. Setidaknya, ada lebih dari tiga link
beasiswa yang aku buka, tapi kebanyakan persyaratan beasiswa itu bukan
diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu padahal aku mencari beasiswa yang
sifatnya sebagai bantuan bagi golongan tidak mampu. Selain itu, fokus
pencarianku juga kepada beasiswa yang menawarkan beasiswa dalam nominal yang
besar.
Singkat cerita, sampailah aku pada
beasiswa Bidik Misi, salah satu program beasiswa dari pemerintah yang
diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu. Setelah menjajaki setiap bacaan yang
ada dalam web itu, hatiku perlahan seperti menuju musim semi, bahagia tak
terkira laiknya kumbang yang menyambut bunga yang bermekaran sempurna.
“Alhamdulillaah, akhirnya ada juga beasiswa yang cocok dengan
keinginanku.” Teriakku dalam hati.
Setelah web itu dibaca seluruhnya
dengan seksama, segera aku penuhi seluruh persyaratannya. Mengunduh formulir,
menyiapkan surat keterangan tidak mampu dan mem-fotocopy buku rapot SMA kelas 10 sampai 12 semester 5.
“Pa, kemarin Kiki nyari beasiswa
di internet, terus nemuin beasiswa, Bidik Misi namanya. Persyaratannya,
download formulir, surat keterangan tidak mampu, fotokopi rapot, dan lainnya.”
Kataku dengan riang.
“Oh, baguslah. Yaudah siapin semua
persyaratannya.”kata ayahku, senang.
Keesokan harinya, aku pergi ke
ruang BP untuk menanyakan info tentang beasiswa Bidik Misi. Sayangnya, guru-guru
di sana tidak tahu seputar beasiswa Bidik Misi. Agak kesal diriku pada saat
itu. Tapi ya sudah lah, aku tidak ingin bertindak gegabah. Lebih baik mencari
cara lain agar aku bisa tetap kuliah di PTN ternama. Aku melanjutkan pencarianku ke...
0 komentar :
Posting Komentar