Minggu, 22 April 2012

Tanpa segan, matahari  bersinar di pagi hari itu dengan cerah merona, seolah hendak memberikan tanda bahwa akan ada kabar gembira yang segera menghampiri diriku. Tidak seperti hari-hari biasanya, suasana sekolah swastaku terasa nyaman dan menyenangkan. Udara, pepohonan, lantai lapangan sekolah yang beralaskan aspal, dan riuh rendah suara warga sekolah saat itu seperti ikut sepakat dengan tindakan matahari, memberikan kabar gembira.
Aku jalani rutinitas sekolahku sebagaimana biasanya, namun ada yang berbeda di hari itu. Spesial, hanya sekali, menggembirakan, sekaligus menggelisahkan.
“Go, lo masuk ipb” kata salah seorang teman baikku yang juga mendaftar ke IPB,  Nenda Andremico namanya.
Suasana kelas yang bising karena obrolan dan tawa teman-teman sekelasku menyamarkan suaranya sehingga aku meminta dia mengulang pertanyaannya sekali lagi.
“Ah, yang bener lu Nen?” responku setelah mendengar repetisi pertanyaannya. Ketika mengatakan itu, perasaanku bercampur aduk, ada senang, percaya tidak percaya, bingung, dan yang lainnya.
Memang, pada bulan Desember 2009 yang lalu, aku mendaftar  ke IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI), semacam sistem PMDK yang mengandalkan nilai-nilai dan prestasi siswa mulai dari kelas 10 hingga kelas 12 semester 5 . Jujur, ketika mendaftar ke IPB, aku agak ragu dan sedikit kecewa karena tempat kuliah yang aku inginkan bukan di sana. Targetku adalah UNS (Universitas Sebelas Maret), sebuah Universitas di Solo yang telah aku bicarakan sejak kelas 2 SMA bersama ayah, mulai dari tempat tinggal, biaya makan, transportasi, hingga sekadar pengalaman teman-teman ayah yang tinggal di Solo dalam rangka meramal biaya hidupku di sana.
Segera setelah mendengar kabar kelulusanku di IPB, aku menuju ruang Bimbingan Konseling (BP) yang berada dekat mushola sekolah, memastikan kebenaran berita tersebut.
Assalamu’alaykum, maaf ibu, saya Ego Praniki yang dulu daftar USMI IPB, kelas IPA 2, saya ingin memastikan katanya saya lolos USMI IPB, benarkah? Tanyaku memburu.
Guru BP yang sedang berada di ruangan itu, Bu Ida, langsung menyodorkan berkas pemberitahuan kelulusanku. Aku mengambil kertas itu dan membacanya secara perlahan. Kemudian, pandangan mataku terhenti pada tujuh digit angka di kolom biaya. Aku melongok melihat jajaran angka itu dengan perasaan berdebar gelisah. Bagaimana tidak? Tujuh digit angka itulah yang harus aku setorkan ke IPB, besarnya 8.810.000 rupiah. Nominal yang sangat fantastis untuk diriku yang termasuk golongan kurang mampu.
Aku senang dan bersyukur bisa lulus ke IPB, tapi di sisi lain, barisan angka itu membatasi kegembiraanku, membuatku tercekat menelan ludah ketika melihat dan membayangkannya. “Darimana aku dan keluarga mendapatkan uang sebanyak itu?” Tanya hatiku kepada otakku. Pertanyaan-pertanyan lain yang serupa pun terus menghantui benakku di hari-hari berikutnya.
Kondisi ini memaksaku mencari alternatif cara agar aku tetap bisa kuliah di PTN ternama, salah satunya dengan mencari beasiswa. Aku sengaja tidak mencari beasiswa di ruangan BP karena di sana tidak pernah sekalipun aku menemukan informasi seputar beasiswa, entah apa penyebabnya, aku tidak mau berprasangka buruk. Akhirnya, aku fokuskan pencarianku di web. Cukup aku tuliskan kata “beasiswa” di kolom pencarian Google, beberapa detik kemudian muncul deretan link beasiswa di tahun ini, bahkan beberapa tahun ke belakang.
Dengan sabar aku buka satu per satu link beasiswa yang masih aktif. Setidaknya, ada lebih dari tiga link beasiswa yang aku buka, tapi kebanyakan persyaratan beasiswa itu bukan diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu padahal aku mencari beasiswa yang sifatnya sebagai bantuan bagi golongan tidak mampu. Selain itu, fokus pencarianku juga kepada beasiswa yang menawarkan beasiswa dalam nominal yang besar.
Singkat cerita, sampailah aku pada beasiswa Bidik Misi, salah satu program beasiswa dari pemerintah yang diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu. Setelah menjajaki setiap bacaan yang ada dalam web itu, hatiku perlahan seperti menuju musim semi, bahagia tak terkira laiknya kumbang yang menyambut bunga yang bermekaran sempurna.
Alhamdulillaah, akhirnya ada juga beasiswa yang cocok dengan keinginanku.” Teriakku dalam hati.
Setelah web itu dibaca seluruhnya dengan seksama, segera aku penuhi seluruh persyaratannya. Mengunduh formulir, menyiapkan surat keterangan tidak mampu dan mem-fotocopy buku rapot SMA kelas 10 sampai 12 semester 5.
“Pa, kemarin Kiki nyari beasiswa di internet, terus nemuin beasiswa, Bidik Misi namanya. Persyaratannya, download formulir, surat keterangan tidak mampu, fotokopi rapot, dan lainnya.” Kataku dengan riang.
“Oh, baguslah. Yaudah siapin semua persyaratannya.”kata ayahku, senang.
Keesokan harinya, aku pergi ke ruang BP untuk menanyakan info tentang beasiswa Bidik Misi. Sayangnya, guru-guru di sana tidak tahu seputar beasiswa Bidik Misi. Agak kesal diriku pada saat itu. Tapi ya sudah lah, aku tidak ingin bertindak gegabah. Lebih baik mencari cara lain agar aku bisa tetap kuliah di PTN ternama. Aku melanjutkan pencarianku ke...

0 komentar :

Posting Komentar