Rapat Pimpinan Nasional Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus Indonesia
Mimpi yang Tergantikan, Universitas Negeri Sebelas Maret-Solo.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Jumat, 27 April 2012
10.49
EPranS
<next> Setelah berkuliah di IPB, Hari-hariku
cukup sering dibimbangi oleh keinginan meringankan beban orang tuaku. Akhirnya,
keinginan itu meluap dan memicu syaraf-syaraf motorikku untuk bergerak
mewujudkan keinginan yang telah lama terpendam di bunker hatiku. Sepulang dari kuliah olahraga, aku putuskan untuk
bekerjasama dengan tukang roti di Bara dengan kesepakatan bahwa aku akan
menjual rotinya ke teman-temanku dan jika rotinya tidak habis akan dikembalikan
kepadanya.
Pasca kesepakatan itu, aku
memulainya dengan membawa satu kotak roti yang berisi lima belas buah roti. Alhamdulillaah, ajaib, roti itu habis
dalam waktu singkat! Secara perlahan aku tingkatkan jumlah barang daganganku
hingga penghasilanku mencapai lebih dari tiga ratus ribu dalam sebulan. Tanpa
sadar, ternyata aku menjadi inspirator bagi teman-temanku berjualan di asrama. Akhirnya,
berangsur-angsur pedagang di asrama semakin banyak dan dagangannya pun
bermacam-macam. Dasar IPB, entrepreneurship banget.
Kenikmatan itu berlangsung selama
kurang lebih empat bulan, setelah itu ujian menghadangku. Roti yang aku jual
tersaingi oleh beragam dagangan yang dijual teman-temanku, ada donat, risol,
molen raksasa, dan lainnya. Berulang kali aku ganti barang dagangan,
penghasilanku tidak kunjung membaik. Aku mencoba mencari ide alternatif usaha
lain. Hingga pada suatu hari, ada pengumuman pendaftaran beasiswa BBM dan aku mendaftarkan diri. Alhamdulillaah, diterima. Bukan main senangnya saat itu. Aku
menjadi semakin yakin bahwa Alloh memang Maha Mengetahui jeritan hati setiap
makhlukNYA.
Besarnya beasiswa BBM setiap
bulannya sebesar Rp 450.000. Awalnya aku berpikir bahwa uang beasiswa akan
turun setiap bulan, tapi ternyata uang beasiswa BBM diberikan dengan cara
dirapel atau diakhirkan.
Enam bulan setelah OR beasiswa
BBM, aku mendapatkan sms sebaran yang berisikan OR Beastudi Etos untuk satu
orang. Aku terkejut. “Ini kan beasiswa yang waktu itu ingin aku ikuti, masih
bisa ikut ga ya? Coba dah..”gumamku.
Kebetulan tetangga kamarku di
asrama TPB, Andri, anak Etos juga. Aku mulai menyelidiki, mencari tahu segala
tentang Etos. Beberapa hari kemudian aku azamkan diri untuk mendaftarkan diriku ke sana setelah terpenuhi
semua persyaratannya.
Saat wawancara, kira-kira ada
lebih dari sepuluh peserta yang mendaftar. Aku berusaha seoptimal mungkin untuk
lulus dari semua rangkaian seleksi. Masyaa
Alloh, aku diterima. Pengumumannya di bulan Pebruari, awal semester dua, tapi salah satu syaratnya adalah tidak mendapatkan
beasiswa lain, akhirnya beasiswa BBM aku lepas dengan semua pengalamannya.
Sebelum dinyatakan diterima, aku
disuruh oleh orang terakhir yang mewawancaraiku
untuk menginap di asetra yang pada saat itu penghuninya sedang liburan, orang itu adalah Mas Budi, Koordinator Etos Wilayah Bogor. Aku disuruh
menginap karena aku datang langsung dari Tangerang untuk wawancara terakhirku
yang dilakukan di sore hari sehingga tidak mungkin untuk langsung pulang lagi ke
Tangerang. Di awal keberangkatanku ke Bogor, aku sempat berpikir setelah wawancara
nanti aku akan menginap di Asrama TPB, tapi ternyata Alloh punya rencana lain
yang jauh lebih indah, aku disuruh menginap di Asrama Etos. Alhamdulillaah. Ah, seru sekali.
Sekali lagi keyakinanku kepada
Alloh bertambah dengan diterimanya aku sebagai Etoser, sebutan bagi penerima
Beastudi Etos. Hal yang membuatku takjub kepada Alloh adalah dikabulkannya
doaku oleh Beliau. Dulu, aku menyampaikan sederet doa kepada Alloh dengan penuh
harap dan agak sedikit memaksa. Kira-kira seperti ini doanya;
“Duhai Alloh Yang Maha Baik, aku
ingin sekali membantu meringankan beban kedua orang tuaku. Aku ingin agar
adikku bisa melanjutkan sekolahnya ke pesantren tahfidz. Tolong yaa Alloh, yaa
‘Aziiz, tolong berikan aku beasiswa di awal semester dua, dan tolong berikan
aku tempat tinggal yang murah dan berkualitas agar orang tuaku tidak terbebani
dalam membiayai kuliahku dan pesantren adikku nantinya. Aku mohon dengan sangat yaa Alloh..”
Sekarang aku sudah di Etos. Aku
merasa sangat beruntung bisa tinggal di asrama Etos kampus
IPB karena Etos merupakan beasiswa yang tidak hanya sekedar memberikan beasiswa
finansial semata, tapi sangat mengutamakan pembentukan SDM yang berkualitas.
Hasilnya, penerima manfaat beastudi Etos (Etoser) menjadi aktivis yang hampir selalu menempati jabatan strategis di suatu
organisasi kampus atau kepanitiaan.
Inilah buah dari penantianku, tangisku, dan doa serta harapanku juga orang-orang yang ada di sekitarku selama ini. Aku bahagia telah menjadi bagian dari keluarga besar Etoser karena bagiku, Etos bagaikan sebuah
aquarium yang ditata indah menggunakan teknik aquascape. Ikan-ikan, bebatuan,
tanaman air, dan air yang jernih, disatukan agar berkolaborasi dan saling mengindahkan
satu sama lain, membentuk pemandangan yang indah, suasana yang tenang, nyaman, dan damai. Tidak heran,
orang-orang di luar yang melihatnya berdecak kagum penuh pujian, bahkan ingin
turut merasakan suasana di dalamnya. Tapi sesungguhnya, segala bentuk pujian
dan ibadah hanya untuk Engkau, duhai Alloh Yang Maha Bijaksana, Maha Perkasa,
Maha Hebat, Maha Indah, lagi Maha Membulak-balikkan segala keadaan. Semua itu
tidak bisa terwujud melainkan dengan izin Alloh, Sang Pemilik Semesta Raya. Satu permohonanku, Tolong
bantu aku yaa Alloh, agar mampu menjadi salah satu bagian yang bisa
mengindahkan aquarium ini sampai suatu hari nanti. Aamiin..
Selasa, 24 April 2012
17.04
EPranS
.....“Formulir apa itu Go?” seorang
guru Fisika menanyakanku.
“Eh, ibu.. formulir beasiswa Bidik
Misi Bu,”jawabku. Kemudian, aku sedikit menjelaskan kepada beliau seputar
beasiswa Bidik Misi dan keinginanku memperoleh beasiswa. Aku turut menjelaskan
beasiswa Bidik Misi kepada Nenda ketika dia menanyakan hal yang serupa.
Di hari berikutnya aku berkunjung
ke ruang BP mengeluarkan kegundahan hatiku selama ini..
“Bu, saya keberatan dengan biaya kuliah yang
dilampirkan IPB, gimana ya Bu solusinya?” tanyaku kepada guru BP.
“Coba kamu minta keringanan
langsung aja ke IPB, mungkin IPB punya kebijakan khusus untuk memperingan biaya
kuliah kamu” jawab guru BP itu dengan penuh perhatian.
Keesokan harinya setelah aku
rundingkan dengan ayah dan ibuku, aku putuskan ke IPB untuk meminta keringanan
biaya. Semangatku saat itu bagaikan api yang baru terperciki minyak tanah
setelah pada malam harinya aku mendengar bahwa kedua orang tuaku akan sangat
mengusahakan membiayai kuliahku, bahkan kalau perlu menjual rumahku.
Bersama ayahku, aku masuk ke
bagian Administrasi dan Pendidikan di Gedung Rektorat IPB dan langsung
mengutarakan maksudku ke sana. Dengan wajah yang kurang meyakinkan kami disuruh
membuat surat permohonan keringanan biaya oleh salah seorang yang ada di sana
untuk diajukan ke Rektor IPB. Saat itu juga aku langsung menuju warnet untuk
membuat surat itu bersama ayahku. Salah satu hikmah kejadian ini adalah membuat
hubungan kami berdua semakin erat. Motivasiku yang kuat untuk memperoleh
beasiswa dipadukan dengan semangat menyekolahkan anak setinggi-tingginya,
menjadi energi tersendiri bagi surat itu agar mampu meluluhkan hati Kepala
Kampus. Ah, sungguh pengalaman indah yang tak mudah dilupakan.
Kami disuruh menunggu keputusannya
beberapa saat. Tidak lama kemudian, keputusan yang dinanti datang. Sayang,
kabar baik belum sepakat kepada kami, keringanan tidak bisa diberikan, Alloh
masih ingin aku berusaha lebih gigih lagi. Ternyata, penolakan itu arti dari mimik
wajah orang tadi. Betapa kecewanya diriku ketika mendengar itu dan hatiku lebih
pedih lagi ketika melihat rona kekecewaan yang terpancar dari wajah ayahku. Ah,
maafkan aku ayah sudah mengecewakanmu.
Usahaku tidak berhenti sampai di
sini, aku cari info beasiswa lain yang mungkin akan berpihak padaku. Dan benar
saja, “Ada beasiswa pengganti Bidik Misi yang bisa aku usahakan”pikirku.
Beasiswa itu adalah Beastudi Etos Dompet Dhuafa. Namun lagi-lagi, aku harus
menelan kekecewaan karena jurusan yang telah aku pilih(Matematika) tidak ada di
daftar jurusan yang direkomendasikan Beastudi Etos di IPB. Tapi, aku tidak
mempedulikannya. Aku datang langsung ke kantor pusatnya untuk menanyakan bisa
atau tidaknya aku menerima Beastudi Etos. Dan lagi, nampaknya nasib baik belum
berpihak kepadaku, kantornya tutup karena aku datang terlalu sore.
Keinginan yang kuat untuk
mendapatkan beasiswa membawaku pada cara lain. Aku mendaftar ke universitas lain
yang ternyata undangannya berdatangan setelah aku dinyatakan diterima IPB pada
bulan Januari. Sempat kecewa, menyesal, dan pundung atas keadaan itu, tapi
segera aku hilangkan. Aku mengambil formulir pendaftaran beberapa universitas,
seperti UNJ, UIN, dan UNDIP.
“Kiki mau coba daftar ke
universitas lain pa, ma, supaya bisa dapet Beasiswa Bidik Misi.”Tanyaku kepada
kedua orang tuaku.
“Emang bisa? Coba aja siapa tau
bisa. Siapin semua persyaratannya.”jawab ibuku dengan logat kasih sayangnya
yang khas.
“Doain aja semoga Kiki bisa kuliah
di PTN dengan beasiswa”
“Iya, pasti selalu mama doain.”
Sahut ibuku.
Sikapku yang ambisius ini ternyata
tidak mendapat persetujuan. Aku sampai dipanggil guru BP terkait keinginanku
untuk mendaftar universitas lain setelah aku diterima di IPB.
“…tapi saya ingin kuliah dengan
beasiswa. Saya ingin kuliah tanpa membebani keluarga, saya tidak ingin bapa dan
ibu saya kelelahan hanya untuk mencari biaya kuliah saya. Beban mereka sudah
banyak dan saya ga mau menambah beban mereka lagi. Ini saatnya saya belajar
mandiri” tegasku.
“Masalah biaya itu bisa diatasi.
Di sana banyak beasiswa, kamu bisa dapetin salah satunya. Lagipula, kalo kamu
menolak IPB, sekolah ini akan tercoreng sehingga jumlah kuota USMI tahun depan
akan berkurang. Jurusan matematika IPB bagus lho, banyak lapangan kerjanya,
sayang banget kalo dilepas.” Kata guru-guru di sana.” Kata guru-guru di ruang
BP.
Berminggu-minggu kemudian, Entah
kenapa, keinginanku mendaftar di universitas lain hilang begitu saja, ga nafsu lagi. Pembayaran IPB yang tiga
tahap pun sudah aku penuhi semua. Uangnya ternyata berasal dari pinjaman dari
bos ayahku dan Bank. Alhamdulillaah.
Usahaku berikutnya adalah
mengikuti seleksi Beasiswa Pilot dari Batavia Air. Aku mendapat info itu di
bulan Pebruari dari teman ayahku. Tahapan seleksinya banyak, sekitar delapan
kali. Alhamdulillah, aku termasuk
orang yang lulus tahap awal, seleksi administrasi. Kemudian, aku mengikuti
seleksi tahap dua, ujian tulis. Alhamdulillaah
lulus lagi. Bukan main senangnya saat itu. bayangkan, lulusan SMA mampu
mengalahkan ratusan orang kantoran, anak kuliahan, bahkan taruna penerbangan
dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, kebahagiaan itu tidak bisa aku
lanjutkan. Aku tidak mengikuti seleksi tahap tiga, tes kebugaran. Alasannya,
aku sudah kuliah matrikulasi di IPB, dan bapakku menyarankanku untuk memilih
IPB saja karena seleksi Beasiswa Pilot masih banyak, “Pilih yang pasti-pasti
aja” Begitu kata ayahku.
Beasiswa Pilot ini sangat
menggiurkan. Biaya kuliah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Batavia Air, uang
saku bulanan lebih dari lima ratus ribu, ikatan dinas, tempat kuliah tidak
terlalu jauh dari rumahku, dan kalau sudah jadi Pilot nanti akan digaji puluhan
juta. Siapa yang tidak tertarik?
Aku sempat berpikir, Beasiswa
Pilot dengan IPB ibarat neraka dan surga. Kalau aku memilih Beasiswa Pilot, aku
membayangkan aku akan sering memakai pakaian ketat, sedangkan sholat tidak
boleh memakai pakaian ketat. Saat sudah menjadi Pilot, aku akan lebih sering
meninggalkan istri dan anakku, ditambah lagi ada rumor yang menyatakan bahwa
tidak jarang Pilot menjalin hubungan dengan pramugari. Naudzubillaah. Sedangkan jika aku memilih IPB, saat aku sudah lulus
nanti, pekerjaanku tidak akan menuntutku meninggalkan istri dan anakku. Selain
itu, aku bisa mengoptimalkan ibadahku meskipun aku belum tahu kondisi IPB saat
itu, yang pasti hatiku lebih nyaman dengan IPB. Mungkin itu merupakan jawaban
dari Alloh atas doa yang sering aku sampaikan.
bersambung...
Minggu, 22 April 2012
22.51
EPranS
Tanpa segan, matahari bersinar di pagi hari itu dengan cerah
merona, seolah hendak memberikan tanda bahwa akan ada kabar gembira yang segera
menghampiri diriku. Tidak seperti hari-hari biasanya, suasana sekolah swastaku
terasa nyaman dan menyenangkan. Udara, pepohonan, lantai lapangan sekolah yang
beralaskan aspal, dan riuh rendah suara warga sekolah saat itu seperti ikut
sepakat dengan tindakan matahari, memberikan kabar gembira.
Aku jalani rutinitas sekolahku
sebagaimana biasanya, namun ada yang berbeda di hari itu. Spesial, hanya
sekali, menggembirakan, sekaligus menggelisahkan.
“Go, lo masuk ipb” kata salah
seorang teman baikku yang juga mendaftar ke IPB, Nenda Andremico namanya.
Suasana kelas yang bising karena
obrolan dan tawa teman-teman sekelasku menyamarkan suaranya sehingga aku
meminta dia mengulang pertanyaannya sekali lagi.
“Ah, yang bener lu Nen?” responku
setelah mendengar repetisi pertanyaannya. Ketika mengatakan itu, perasaanku
bercampur aduk, ada senang, percaya tidak percaya, bingung, dan yang lainnya.
Memang, pada bulan Desember 2009
yang lalu, aku mendaftar ke IPB melalui
jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI), semacam sistem PMDK yang mengandalkan
nilai-nilai dan prestasi siswa mulai dari kelas 10 hingga kelas 12 semester 5 .
Jujur, ketika mendaftar ke IPB, aku agak ragu dan sedikit kecewa karena tempat
kuliah yang aku inginkan bukan di sana. Targetku adalah UNS (Universitas
Sebelas Maret), sebuah Universitas di Solo yang telah aku bicarakan sejak kelas
2 SMA bersama ayah, mulai dari tempat tinggal, biaya makan, transportasi,
hingga sekadar pengalaman teman-teman ayah yang tinggal di Solo dalam rangka
meramal biaya hidupku di sana.
Segera setelah mendengar kabar
kelulusanku di IPB, aku menuju ruang Bimbingan Konseling (BP) yang berada dekat
mushola sekolah, memastikan kebenaran berita tersebut.
“Assalamu’alaykum, maaf ibu, saya Ego Praniki yang dulu daftar USMI
IPB, kelas IPA 2, saya ingin memastikan katanya saya lolos USMI IPB, benarkah?
Tanyaku memburu.
Guru BP yang sedang berada di
ruangan itu, Bu Ida, langsung menyodorkan berkas pemberitahuan kelulusanku. Aku
mengambil kertas itu dan membacanya secara perlahan. Kemudian, pandangan mataku
terhenti pada tujuh digit angka di kolom biaya. Aku melongok melihat jajaran
angka itu dengan perasaan berdebar gelisah. Bagaimana tidak? Tujuh digit angka
itulah yang harus aku setorkan ke IPB, besarnya 8.810.000 rupiah. Nominal yang
sangat fantastis untuk diriku yang termasuk golongan kurang mampu.
Aku senang dan bersyukur bisa lulus
ke IPB, tapi di sisi lain, barisan angka itu membatasi kegembiraanku, membuatku
tercekat menelan ludah ketika melihat dan membayangkannya. “Darimana aku dan
keluarga mendapatkan uang sebanyak itu?” Tanya hatiku kepada otakku.
Pertanyaan-pertanyan lain yang serupa pun terus menghantui benakku di hari-hari
berikutnya.
Kondisi ini memaksaku mencari
alternatif cara agar aku tetap bisa kuliah di PTN ternama, salah satunya dengan
mencari beasiswa. Aku sengaja tidak mencari beasiswa di ruangan BP karena di
sana tidak pernah sekalipun aku menemukan informasi seputar beasiswa, entah apa
penyebabnya, aku tidak mau berprasangka buruk. Akhirnya, aku fokuskan
pencarianku di web. Cukup aku tuliskan kata “beasiswa” di kolom pencarian
Google, beberapa detik kemudian muncul deretan link beasiswa di tahun ini,
bahkan beberapa tahun ke belakang.
Dengan sabar aku buka satu per
satu link beasiswa yang masih aktif. Setidaknya, ada lebih dari tiga link
beasiswa yang aku buka, tapi kebanyakan persyaratan beasiswa itu bukan
diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu padahal aku mencari beasiswa yang
sifatnya sebagai bantuan bagi golongan tidak mampu. Selain itu, fokus
pencarianku juga kepada beasiswa yang menawarkan beasiswa dalam nominal yang
besar.
Singkat cerita, sampailah aku pada
beasiswa Bidik Misi, salah satu program beasiswa dari pemerintah yang
diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu. Setelah menjajaki setiap bacaan yang
ada dalam web itu, hatiku perlahan seperti menuju musim semi, bahagia tak
terkira laiknya kumbang yang menyambut bunga yang bermekaran sempurna.
“Alhamdulillaah, akhirnya ada juga beasiswa yang cocok dengan
keinginanku.” Teriakku dalam hati.
Setelah web itu dibaca seluruhnya
dengan seksama, segera aku penuhi seluruh persyaratannya. Mengunduh formulir,
menyiapkan surat keterangan tidak mampu dan mem-fotocopy buku rapot SMA kelas 10 sampai 12 semester 5.
“Pa, kemarin Kiki nyari beasiswa
di internet, terus nemuin beasiswa, Bidik Misi namanya. Persyaratannya,
download formulir, surat keterangan tidak mampu, fotokopi rapot, dan lainnya.”
Kataku dengan riang.
“Oh, baguslah. Yaudah siapin semua
persyaratannya.”kata ayahku, senang.
Keesokan harinya, aku pergi ke
ruang BP untuk menanyakan info tentang beasiswa Bidik Misi. Sayangnya, guru-guru
di sana tidak tahu seputar beasiswa Bidik Misi. Agak kesal diriku pada saat
itu. Tapi ya sudah lah, aku tidak ingin bertindak gegabah. Lebih baik mencari
cara lain agar aku bisa tetap kuliah di PTN ternama. Aku melanjutkan pencarianku ke...
Jumat, 20 April 2012
17.44
EPranS
Setiap kepingan waktu adalah momentum. Semua fasenya adalah
kesempatan yang tidak akan pernah kembali dalam kondisi yang sama.
Masing-masing punya karakter dan fungsi yang berbeda. Hari jumat pekan ini,
pasti berbeda dengan hari Jumat pekan lalu. Hari Senin kemarin, tidak akan sama
dengan hari Senin sekarang. Walaupun namanya sama-sama hari Jumat dan Senin.
Kepingan-kepingan waktu tidak cukup diartikan sebagai
akumulasi detik, menit, jam, atau satuan waktu lainnya. Lebih dari itu, waktu
ibarat momentum, sejenis pelontar yang akan melecutkan diri kita ke puncak
prestasi atau malah menjatuhkan kita ke kubangan kegagalan, tergantung kepandaian
kita menyikapinya..
Jika waktu ibarat momentum, maka sebenarnya ia tidak
terletak pada saat-saat tertentu saja, Momentum hidup kita tidak hanya terjadi
saat peringatan tanggal kelahiran kita, menerima gajian bulanan, kenaikan
kelas, wisuda, atau saat datang hari
raya, melainkan seluruh perjalanannya merupakan momentum hidup yang tidak akan
terulang sama persis seperti sebelumnya, makan, bernafas, berjalan kaki, bahkan
beristirahat merupakan beberapa contohnya. Begitulah hidup, setiap periodenya
memiliki berjuta momentum yang terlalu berharga untuk ditinggalkan.
Kalau ingin tahu seberapa berharganya setiap potongan kecil
waktu, tanyakan pada pengendara motor yang nyaris tewas ditabrak truk berkecepatan
tinggi. Detik-detik yang dilaluinya saat itu menjadi momentum yang sangat
menentukan keberlanjutan hidupnya. Maka detik-detik itulah yang menjadi
nyawanya. Selain itu, tanyakan juga pada siswa SMA yang tidak lulus Ujian
Nasional. Tiga tahun masa SMA yang dilaluinya seperti tidak berarti karena kelulusannya
hanya ditentukan oleh enam jam waktu total Ujian Nasional yang terdiri dari
tiga mata pelajaran. Dengan itu, enam jam itu menjadi terasa sangat berharga,
melebihi timbunan emas di kamarnya. Enam jam itulah momentumnya.
Setiap gerak waktu memiliki catatan nilainya sendiri dalam
pandangan Alloh Yang Maha Memperhatikan. Alloh tidak hanya menitikberatkan penilaianNYA
pada karya yang tercipta pada suatu masa, tapi juga dari sisi pemanfaatan
setiap momen yang disuguhkanNYA, seberapa mampu kita tidak menyia-nyiakannya.
Maka dengan itu, kita dapat memahami, mengapa Rosululloh SAW sangat mewanti-wanti
umatnya agar pandai dalam mengelola waktu; “Tidak akan
melangkah kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ditanya empat
perkara. Usianya, untuk apa ia habiskan. Masa mudanya, bagaimana ia habiskan.
Hartanya, darimana didapatkannya dan pada jalan apa dikeluarkannya. Serta
Ilmunya, apa yang telah ia perbuat dengannya”. (HR. Al-Bazzar dan Thabrani).
Part 1...
Senin, 16 April 2012
00.02
EPranS
Rindu Suasana UTS
Unik, menarik, dan asik. Mungkin kata-kata itulah yang bisa
menggambarkan suasana saat UTS berlangsung maupun beberapa hari sebelumnya.
Unik, karena momen UTS membuat perilaku sebagian besar mahasiswa berubah cukup drastis,
dari yang tadinya amalnya biasa-biasa saja, ketika menjelang atau selama UTS menjadi
manusia sholeh atau “alim’’. Sholat dhuha sering, shodaqoh rajin, belajar
apalagi. Momen UTS ini juga terasa menarik karena kondisi di atas terjadi
secara musiman, laiknya buah-buahan. Mushola-mushola dipenuhi mahasiswa yang
sedang berdebar menunggu ujiannya hari itu. Lebih dari itu, momen UTS ini juga
terasa asik karena waktu luang menjadi semakin banyak dengan diberhentikannya
secara sementara kegiatan-kegiatan nonakademik. Khusus bagiku, keasikan ini
terasa ketika melihat perubahan mayoritas mahasiswa yang menjadi semakin kalem
dan sholeh, masjid sering dikunjungi, dan kebaikan-kebaikan lain yang turut rutin
dilakoni.
Kebiasaan-kebiasaan di atas, seperti sholat dhuha, shodaqoh,
sholat berjamaah, dan kebaikan lainnya memang baik, tapi ada yang sangat
disayangkan, yaitu kembalinya mahasiswa ke kondisinya seperti sebelum UTS. Ketika
UTS sudah selesai dieksekusi kebiasaan-kebiasaan seperti melaksankan sholat
berjamaah di masjid, sholat Dhuha, dan shodaqoh yang dulu sering dilakukan
malah menurun, bahkan tidak pernah lagi, tidak sama seperti saat UTS
berlangsung di mana pengunjung mushola menjadi semakin ramai. Ada apa dengan
ini?
Hanya ingin memberitahu bahwa Alloh lebih menyukai orang yang
beramal secara rutin dan kontinu daripada insidental. Alloh tidak akan pernah
bosan memperhatikan amal kita sampai kita sendiri yang merasa bosan. Mudah
kan? Dengan demikian, sebenarnya kita diutamakan agar beramal yang ringan,
berkualitas, dan kontinu, tidak perlu bersusah payah beramal yang malah memaksakan
diri. Inilah salah satu kebaikan dari Alloh. Pokoknya, dalam beramal, usahakan
yang tidak memberatkan diri ya... Walaupun terasa kecil dan ringan, yang
penting harus istiqomah atau rutin dilakukan.
Okeh? Okelah… Semangaat\\(^_^)//
Minggu, 08 April 2012
11.01
EPranS
Sadarilah, Jangan Mau Jadi Wanita Murahan!
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
“14-02-12 = 0” Valentine’s day is end! Atas semangat itulah, para aktivis
menginisiasi Hari Menutup Aurat Internasional. Selain itu, kondisi sebagian
besar anak muda di dunia yang sedang mengalami degradasi moral menjadi alasan utama
perlunya kegiatan ini diselenggarakan, bahkan berskala internasional.
Hari valentine sejatinya bukanlah
hari kasih sayang. Hal itu merupakan tipu muslihat yang disebarluaskan oleh
Negara Barat (Amerika, dkk). Mereka
menginginkan generasi muda dunia hancur sehingga nantinya mereka dapat
mengendalikan banyak Negara sesuai dengan keinginannya, seperti memeras
kekayaannya, maupun potensi2 lain yang dimiliki Negara tersebut, atau istilah
kerennya yaitu menjadi Negara Boneka.
Sungguh mengerikan. Rencana jahat ini dilakukan karena mereka merasa bahwa
untuk merebut kekuasaan suatu Negara, peperangan tidak lagi efektif dan efisien
karena dapat menghabiskan banyak dana. Di samping itu, kegigihan pasukan Negara
Muslim yang tidak takut mati, tapi malah mencari mati, membuat mereka kalang
kabut, tidak bisa menghancurkan. Memalukan bukan!!
Pada Hari Valentine banyak
kemaksiatan yang terjadi, seperti pesta shabu, miras, hingga free sex.
Na’udzubillaah. Sayangnya, sebagian besar korbannya adalah wanita. Makhluk
mulia nan indah yang dominan perasaan ini, menjadi korban “ungkapan cinta” dari para lelaki. Sungguh cerdas para lelaki,
dengan logika yang mendominasi otaknya, mereka membungkus nafsunya melalui
kalimat “Aku mencintaimu…” tapi camkan wahai wanita! Ketika
kalimat itu dilontarkan oleh mereka tanpa keseriusan untuk menuju jenjang
pernikahan, sebenarnya kalimat itu berbunyi “Aku ingin berzina denganmu…”.
Sangat bejat! Maka berhati-hatilah. Segera bentengi hati dan fisikmu.
Bentengi hati dengan pemahaman
bahwa zina akan merendahkan derajatmu melebihi binatang, bahkan walau hanya
bersentuhan dengan lawan jenis ketika belum halal. Kemudian bentengi fisikmu
dengan menutup aurat yang benar. Maksudnya, tidak memakai pakaian yang ketat
atau menarik perhatian para lelaki, tidak mengeluarkan kata-kata yang
“mengundang”, serta tidak menggunakan parfum yang menyengat hidung. “Berlebihan, itukan tergantung Si Cowo.
Kalau Si Cowo ngeres sih, apa aja bikin nafsu..” Tolong jangan katakan itu.
Bukankah kalian tahu, meski laki-laki tampak alim dan suci, ada syaithan yang
super ngeres yang bisa hinggap di manapun ia suka?
Menutup aurat (mengenakan jilbab)
tidak harus menunggu baik atau sholehah. Kalau punya, segera konsistenkan
pemakaiannya, nantinya Alloh akan membantumu memperbaiki dirimu. Selain itu,
Jilbab jangan sampai membelenggu karaktermu. Berjilbab bukan berarti harus
menjadi pendiam. Berekspresilah sejauh Islam membatasimu. Sebagai contohnya, ada
Siti ‘Aisyah yang manja dan ceria, bahkan pencemburu, tapi ada juga yang kalem
seperti Khadijah. Hayo, pilih mana?
Yakinilah, bahwa ketika kamu
sudah sempurna menutup aurat, kamu tidak lagi menjadi seperti baju obralan
murahan yang bisa dipegang-pegang dan diacak-acak oleh siapapun, padahal tidak
beli. Sekarang kamu sudah menjadi sosok jelita nan anggun yang senantiasa
dirindukan oleh lelaki baik-baik. “….lelaki
yang baik2 hanya untuk wanita yang baik-baik”(Alloh SWT). Ingat itu. Jika
kamu konsisten menutup aurat, bukan tidak mungkin bahwa kamu akan mendapatkan
lelaki baik-baik yang istimewa yang akan menemanimu melewati lika-liku
kehidupan(ups!). Mau kan? Ayo tunggu apa
lagi? Segera tutup auratmu dan perbaiki akhlakmu secara bertahap tanpa
kenal jemu.
Wassalamu’alaykum Wr. Wb \(^_^)/
“Hari Menutup Aurat Internasional, 14
Pebruari”
Langganan:
Postingan
(
Atom
)