KALUNG
.:Galuh
Chrysanti:.
Ahmad
memekik pelan, hampir saja motor ojek yang ditumpanginya terpeleset lumpur yang
masih menyisa di jalan, jejak hujan beberapa jam yang lalu.
“Hati-hati
Mas, konsentrasi.” Kata pemuda itu pada sang pengemudi, “Memang mereka ayu-ayu, tapi keselamatan lebih penting,
ya ‘tho?”
Yang
ditegur hanya tersipu. Di depan mereka kebetulan memang sedang berjalan
beriringan rombongan gadis berkerudung. Menambah indahnya warna-warni
pemandangan menuju rumah ibunda Ahmad di Desa Kenjuran, desa tertinggi di
Puncak Pegunungan Perahu, Jawa Tengah.
Semerbak
aroma kebun cengkeh berbaur dengan wangi tanah yang terbasahi hujan menggoda
cuping hidung Ahmad. Jalan bebatuan yang terus menanjak berkelok-kelok, bukit,
dan lembah silih berganti, ladang jagung, rumah-rumah pedesaan berdinding kayu
beratap genting kodok, senyum anak-anak kecil, satu tikungan lagi, dan hati
Ahmad pun bergetar ketika matanya
akhirnya menambat di rumah ibunda yang teramat dicintainya. Kekasih hati yang
biasa dipanggilnya dengan sebutan Ambu, panggilan sayang yang tak pernah
diubahnya sejak usianya masih sembilan bulan dan belum mampu dengan sempurna
mengucapkan kata ‘ibu’.
“Alhamdulillah,
makasih, Mas,” kata Ahmad sambil menyelipkan sehelai uang sepuluhribuan, ongkos
ojek ke rumahnya dari Terminal Sukorejo, terminal di kecamatan terdekat di kaki
gunung.
Tidak
seperti rumah warga lain di Kenjuran, rumah Ambu berdiri sendiri, tidak
menempel dengan rumah tetangga. Terasnya cukup lapang, dimana Ahmad bisa
memandang ke penjuru desa. Di sebelah timurnya rumah-rumah penduduk
bertingkat-tingkat menuruni lembah, di sebelah Utara menghampar hutan bambu,
dan di Barat adalah ladang-ladang penduduk di perbukitan yang berakhir di hutan
cemara nan teduh di puncak bukit tertinggi. Hawanya sangat dingin, hampri
sedingin Dieng bertahun-tahun yang lalu. Jika kita berjalan-jalan ba’da Ashar
di luar rumah, maka muka kita yang terbuka serasa diserbu dan ditampar-tampar
oleh hembusan uap sedingin es.
“Assalamualaikum,”
salam Ahmad.
Tak ada
sahutan namun pintu depan tak terkunci. Di bukanya pintu yang mendecitkan derit
khas rumah tua. Rumah Ambu sendiri adalah rumah yang sangat Ahmad hapal setiap
lekuknya, bahkan mungkin juga setiap bekas paku yang pernah tertoreh di sana.
Namun ruang yang paling Ahmad suka adalah dapur.
Dapur
Ambu sangat luas, beralaskan tanah yang dipadatkan. Ada dipan untuk menonton
tv, tungku bata dengan dua lubang untuk membuat api, rak-rak panci dan wajan
serta bak cuci piring di sudut ruangan di mana bilah bambu mengucurkan air
gunung tiada henti. Langit-langit dapur digunakan untuk mengasapi bonggol
jagung. Bonggol jagung yang telah kering akan digunakan sebagai kayu bakar
untuk menghangatkan penghuni rumah. Namun kini penghuni tetap rumah ini dua
orang saja. Ambu dan seorang kerabat yang berbaik hati menjaga dan menunggui
Ambu.
Ambu
sedang lelap. Ahmad bersimpuh di sisi dipan lalu mencium lembut dahi ibu
tercintanya tanpa suara. Ambulah yang mendominasi pinta doanya pada Allah
beberapa tahun terakhir. Munajat untuk keshatan Ambu, dan terlebih untuk sebuah
terang hidayah agar Ambu yang sangat dikasihinya ini mau menegakkan shalat.
“Ambu
sudah tua, ‘Mad, sudah susah belajar shalat. Yang penting Ambu selalu berbuat
baik pada orang lain, berdoa pada Gusti Allah,” begitu selalu kilah Ambu kalau Ahmad
membujuknya untuk shalat.
Jika
saja Ambu mau shalat, Ambu seolah tanpa cela di gudang memori Ahmad. Hutang
budi teramat musykil bisa dibayar lunas. Apalagi sepeninggal almarhum ayah
kerena sakit mendadak ketika Ahmad masih balita, Ambulah satu-satunya orang
setia menyayanginya dan mendampinginya hingga dewasa.
Rasanya
baru sekejapan mata berlalu sejak ia berangkat sekolah diantar Ambu. Masih
terpatri kuat semua kenangan tentang masa kecil ceria bersama Ambu. Makan
disuapi Ambu dan... Ambu yang selalu menyisakan sekepal nasi setiap makan.
“Untuk
bebek tetangga,” begitu jawab Ambu pada Ahmad kecil yang bertanya kenapa sang
ibu tak pernah lupa melakukan hal tersebut.
Di desa
mereka, Ambu memang dikenal warga sebagai orang yang sangat suka berbagi. Walau
almarhum ayah Ahmad mewariskan mereka sepetak tanah yang kemudian mereka
sewakan pada petani, hasil yang didapat sesungguhnya hanya cukup untuk sekadar
melakoni hidup sederhana sehari-hari. Tapi sampai Ahmad sebesar ini, Ahmad
tahu, tak pernah sekalipun Ambu melewatkan satu hari tanpa sedekah. Apakah itu
berupa uang, beras, gula, satau bahkan hanya berbagi kehangatan dengan tetangga
di muka tungku di dapurnya yang luas dengan teh, kopi, dan singkong rebus.
“Sudah
lama beliau tidur, ‘Lik?” taya Ahmad pelan pada buliknya yang setia menjaga Ambu.
“Sekitar
dua jam,’Mad. Alhamdulillah bisa tidur. Biasanya sangat gelisah, mungkin karena
tahu buah hatinya akan datang,” jawab Bulik sambil tersenyum pada keponakan
yang sedang mencium tangannya itu.
Ditatapnya
dengan perasaan sayang sang keponakan yang kini sedang tumbuh menjadi seorang
pemuda. Paras Ahmad sebetulnya biasa saja. Namun pembawaannya yang tenang
ditambah mata teduh dan senyum yang selalu mengembang membuatnya terlihat gagah
dan matang.
Rebah
terbalut kebaya dan kain, Ambu terlihat makin kurus saja. Akhir-akhir ini Ambu
selalu mengeluh dadanya nyeri. Sudah dibawa ke puskesmas terdekat tapi tak
banyak membantu. Hanya dokter berpesan supaya Ambu jangan banyak pikiran.
“Betapa aku mencintaimu, Ambu,” desah hati Ahmad.
Dipandangnya
fotonya berdua bersama Ambu yang terpajang di samping dipan Ambu. Foto krtika ia hendak berangkat merantau ke
Jakarta karena ia diterima di universitas negeri di sana, di foto itu Ambu
tampak masih sehat. Ingatan Ahmad pun melayang mundur empat tahun ke belakang.
Kala itu
perasaan Ambu teaduk-aduk. Bahagia karena cahaya semata wayangnya lulus
penerimaan universitas negeri di ibu kota, pilu karena tahu bahwa perpisahan
adalah keniscayaan yang menyerta. Walau sadar kerinduan akan selalu membuntuti,
namun dilepasnya jua keberangkatan Ahmad dengan senyum merekah. Tak lupa
dibekalinya Ahmad dengan sesuatu yang sudah disimpannya sejak lama,
kenang-kenangan termanis dari almarhum ayahnya.
“Nak,
seluruh peninggalan ayahmu sudah habis, tinggal sepetak tanah untuk bekal hidup
kita sehari-hari. Tapi Ambu sengaja menyimpan ini untuk kuliahmu, Nak,” kata
Ambu sambil menyodorkan sesuatu pada Ahmad.
Disekap
haru, Ahmad merasakan dinginnya logam dalam genggamannya. “Apa ini, ‘Mbu?”
“kalung
emas ini diberikan ayahmu pada Ambu, seluruh tabungan beliau kala itu
ditukarnya dengan kalung ini dan diserahkannya pada Ambu,” suara Ambu agak
bergetar dicekat rindu. “Tak disangka seminggu
kemudian ayahmu meninggalkan kita untuk selamanya, Nak,” lanjut Ambu,
“Mungkin beliau sudah mendapat firasat akan kepergiannya.”
Dada
Ahmad menyesak, didekapnya Ambu penuh kasih. Dirasakannya tangan Ambu mengusap
lembut punggungnya.
“Sekarang
kalung ini milikmu, Nak. Gunakanlah sebaik-baiknya. Kalung ini juga boleh kau
jual kapan saja kau memerlukannya,” kata-kata Ambu membalut hati Ahmad,
membuatnya terenyuh sangat, “Hanya ini yang dapat Ambu berikan padamu, semoga
bermanfaat ya, Nak.”
Pagi itu
disaput kabut dingin Kenjuran, ibu dan anak terbenam dalam hangatnya penuh cinta. Dari balik Pegunungan
Perahu, matahari pagi mengintip iri kemesraan mereka. Kilap benang cahayanya
menari-nari mengitari mereka berdua, seakan ikut menghayati setetes cinta Ilahi
yang ditipkan pada dua makhlukNya itu.
.....
Walaupun
di desanya Ahmad tergolong berkecukupan, tidak demikian halnya ternyata ketika
kuliah. Biaya hidup di Jakarta amatlah tinggi, belum lagi keperluan untuk
fotocopy, survay, rental computer, dan keperluan lainnya. Ahmad jadi teramat
sibuk. Kuliah, organisasi, mencari nafkah adalah deru hidupnya sepanjang hari.
Kalung
emas pemberian Ambu tak lagi dalam genggamannya. Bukan, Ahmad tak menjualnya.
Rasanya sampai kapan pun tak akan tega ia menjual kalung pemberian Ambu itu.
Ahmad hanya menggadaikannya. Uangnya ia pergunakan untuk membayar uang pangkal
kuliah yang kalau di desa nilainya setara dengan harga seekor sapi.
Sampai
ia menjelang lulus, kalung itu belum juga dapat ditebusnya. Hanya mampu ia
perpanjang dengan membayar uang pemeliharaan selang empat bulan sekali. Uang
pemeliharaan itu punbiasanya baru terkumpul beberapa hari sebelum tanggal jatuh
tempo, sebelum tiba waktunya kalung itu untuk dilelang. Ketika akhirnya uang
itu disetorkan, barulah Ahmad bisa bernapas lega. Ah, kalung Ambu masih aman
walau tak di tangan sendiri.
Untuk
kehidupan sehari-hari Ahmad rajin menjemput rezeki. Disela-sela kesibukan
kuliah ia mengajar les privat, membuat spanduk, berjualan diktat, juga
berjualan pulsa. Setengah tahun sekali ia pulang menjenguk Ambu, tak lupa
melengkapi diri dengananeka oleh-oleh mulaidari makanan kering, selendang,
sampai buku-buku dan majalah Islam, mukena serta sajadah.
Ya,
semenjak ikut kajian rutin di mushola kampus, Ahmad jadi semakin mendalami
indahnya Al Islam. Hal yang sangat langka dan mewah di Desa Kenjuran. Maklum,
pemahaman agama warga di desa tersebut sangat sederhana. Karena lokasinya yang
tinggi dan terpencil, wilayah tersebut belum terjangkau oleh para mujahid
penyebar dakwah. Yang ada hanyalah pembahasan tak berujung, tentang mana yang
lebih baik, NU atau Muhammadiyah. Mungkin itu juga penyebabnya, Ambu tercinta
belum tergerak untuk shola, bersujud menghadap Ilahi.
Namun
karena giat mengikuti pengajian kampus itu pulalah Ahmad jadi dirundung pilu.
Bagaimana tidak? Di sinilah ia baru dihenyakkan oleh penuturan jernih seorang
ustadz bahwa amal manusia yang pertama dihisab oleh Allah Swt adalah sholatnya.
Tanpa sholat, maka semua amal pun tertolak.
“Masya
Alloh, Rabb, ampuni ambu hamba,” jerit hati Ahmad.
Sejak
itu dalam setiap doa dan sujudnya, hanya benderang hidayah untuk Ambu yang
Ahmad pinta. Masalah lain dirasa kecil. Uang SPP yang terlambat dibayarkan,
beban ujian akhir semester di depan mata, atau Bhkan jika Ahmad sedang tergolek
sakit sekalipun, hidayah untuk Ambu tak petnah bergeser dari urutan teratas daftar
doanya.
Buku dan
hidayah Islam yang dibawakan Ahmad memang dibolak-balik dan dibaca Ambu, namun
sajadah dan mukena sejauh ini hanya diterima dengan ucapan terima kasih dan
senyuman. Hanya itu.
....
Ahmad
dikepung kesibukan. Besok ia ujian akhir. Hari yang sama dimana jadwal lelang
kalung Ambu di pegadaian juga menghantui. Persiapan ujian ia bauri dengan cari
uang sana sini. Pembayaran uang pemeliharaan kalung sudah mundur satu minggu
dari tanggal jatuh tempo. Besok hari terakhir penyetoran kalau Ahmad sungguh
ingin menyelamatkan kalung itu.
Siang
itu ia terpuruk di kamar kos. Kelelahan. Menyempatkan diri sejenak merehatkan
tubuh sebelum bergegas ke pegadaian, berkejaran dengan pukul tiga, jam tutup
tempat itu.
Namun
Ahmad lega, terkumpul sudah akhirnya lima ratus ribu rupiah. Walau harus
ditutup dengan menjual hp-nya seharga seratus lima puluh ribu. Tak apalah,
insya Allah bisa beli lagi kalau ada rejeki. Sore nanti prioritas belajar dulu,
ujian akhir esok menanti.
Baru
sesaat ia berbaring. Shobur temannya menyeruak masuk.
“Akhi,
sudah dengar belum?” katanya dengan napas tersengal.
Masih
dengan dada turun naik menata napas, tanpa menunggu jawaban Ahmad, Shobur
meneruskan kabar yang dibawanya,”Teman kita Edi Basuki terancam enggak boleh
ikut ujian besok, akh, uang SPP masih menunggak lima ratus!”
“Masya
Allah,” empati Ahmad, “Kok bisa begitu?”
“Sawah
orangtuanya kena wereng, sudah enam bulan lebih ia tidak mendapat kiriman.
Apalagi dagangan Edi kini juga kurang laku, kasihan....”
Teman-teman
Ahmad memang rata-rata sudah mulai berniaga untuk menutupi kekurangan kiriman
orang tua mereka. Maklum, kebanyakan memang perantau yang tak bisa hanya
mengandalkan wesel bulanan mereka. Edi sendiri sepengetahuan Ahmad berjualan
kaset-kaset Islami, barang yang mulai ditinggal penggunanya sejak maraknya CD
dan RBT.
Ahmad
merasa kantungnya yang berisi uang lima ratus ribu rupiah terasa panas.
Dibayangkannya kesedihan keluarga Edi kalau ia sampai tidak diperbolehkan ikut
ujian akhir besok pagi. Tak terperikan bagaimana perasaan ambunya kalau hal
tersebut terjadi pada dirinya.
Wajah
muram Edi dan pendar cemerlang kalung emas Ambu silih berganti dengan
kontrasnya melekat di pelupuk mata Ahmad. “Allah apa yang harus kulakukan?”
lirih Ahmad.
Namun
sosok Ambu yang pemurah berkelebatan di bilik nuraninya. Ahmad merasa, jika
saja Ambu berada di posisinya, besar kemungkinan Ambu akan menyerahkan uang
setengah juta itu untuk Edi. Ambu, yang selalu menyisihkan sekepal nasi untuk
bebek tetangga, ambu yang selalu memasak dengan kuah banyak agar bisa berbagi
dengan tetangga, bahkan tanpa pernah mendengar bahwa Nabi yang mulia menang
menyarankannya.
Ahmad
menerawang menembus jendela kamar kos, mencari fatwa hatinya. Tak sengaja ekor
matanya terpaku pada pemandangan di luar kamar, seraut sarang laba-laba
berkilauan ditimpa mentari tampak telah berhasil menjerat maka siang bagi sang
pemilik sarang. Sebuah keyakinan yang sulit digambarkan keindahannya tiba-tiba
menguat kokoh memenuhi hatinya.
“Mahabesar
Engkau Allah, wahai pemberi rezeki,” seru Ahmad lembut, “Sungguh benar
firman-Mu bahwa tak satu makhluk pun yang tak Kau jamin rezekinya. Terimalah
sedekahku untuk Edi ini, ya Rabb, kuserahkan kembali kalung Ambu pada-Mu.
Maafkan aku Ambu, akhirnya aku tak dapat lagi menjaga kalung pemberianmu.”
.....
Sore itu
Ahmad lega karena sudah mengambil keputusan yang terbaik. Sudah saaatnya
menggamit buku untuk persiapan besok. Tapi sekali lagi Shobur menerobos
kamarnya, kali ini dengan senyum mengembang, “Akhi, telpon dari Kenjuran!”
katanya.
Setengah
berlari Ahmad menuju ruang belajar bersama tempat telepon dipasang di
dindingnya. Mungkin telepon ini dari ambunya yang menghubungi lewat hp
tetangga. “Assalamu’alaikum,” sapanya.
“Wa’alaikumsalaam,”
suara Ambu membelai telinga dan juga hati Ahmad, namun tak ayal Ahmad menangkap
ada gurat kesedihan tersirat.
“Ambu
kangen, Nak,” bergetar suara Ambu.
Sepasang
ibu anak yang terpisah jarak itu sejenak terdiam bersama.
“Ambu
baik-baik saja?” Ahmad menghalau kesenyapan.
Ambu tak
menjawab. Mungkin menahan tangis yang siap meluap.
“Ambu,”
bisik Ahmad, “Ahmad mengerti Ambu sudah rindu. Ahmad pun sudah sangat ingin
pulang dan bertemu Ambu.” Dari gagang telepon terdengar desah nafas Ambu. “Ambu
berjanji akan pulang setelah ujian ini selesai ya, Ambu, insya Allah.”
Masih tak
ada jawaban, tapi Ahmad yakin Ambu mendengar setiap kata yang ia ucapkan.
“Ambu,”
tutur Ahmad perlahan, “kalau yang Ambu rindukan dari kepulangan Ahmad adalah
kasih sayang Ahmad, sesungguhnya kasih sayang itu dari Ar Rahman, ‘Mbu...
Sungguh, mungkin Allahlah yang Ambu rindukan.”
Ujung
telepon di Kenjuran masih hanya memperdengarkan napas berat Ambu. Namun dengan
seluruh ketulusan, Ahmad meneruskan kata-katanya. “Ambu, kalau yang Ambu
rindukan dari kepulangan Ahmad adalah keceriaan Ahmad, sesungguhnya keceriaan
itu dari Al Hayyu yang Mahahidup. Dialah yang sesungguhnya Ambu rindukan,
percayalah pada Ahmad, ‘Mbu...”
“Mad...,”
serak suara Ambu mengiba, “Ambu ingin bertemu Ahmad....”
“Ambu,
Ahmad tahu bagaimana kita dapat berjumpa, hati kita dapat saling berbicara,
walaupun Ambu nun jauh di sana,” terbetik ide di kepalanya.
“Maksudmu,
Nak?” ada harapan di pertanyaan ambu.
“Shalat,
‘Mbu... shalat....” bujuk Ahmad lagi. ‘Saat shalat, kita berdua terhubung
dengan Rabb yang sama, yang akan menyatukan kita. tidak ada yang dapat
membatasi kita dengan Allah ketika shalat, ‘Mbu. Mohonlah pada Allah, untuk
mengganti kerinduan Ambu pada Ahmad dengan sebaik-baik pengganti.”
Hening.
Namun terdengar suara Ambu, “Ambu sayang kamu, ‘Mad. Baik-baik di sana ya. Doa
dan restu Ambu selalu menyertaimu. Assalamu’alaikum.”
....
Sebulan
setelah telepon itu, di sinilah Ahmad berada. Di Kenjuran mendampingi Ambu.
Bulik mnelepon bahwa kesehatan Ambu memburuk, membuat Ahmad menangguhkan segala
urusan mengenai kelulusan dan segera pulang ke Kenjuran.
Sesorean
tadi ia menghibur Ambu, menceritakan kisah lucu, menggosok punggung Ambu agar
hangat, mengurut kaki beliau, menyuapi, dan lain-lain. Semuanya agarAmbu
bahagia.
Namun
sesungguhnya Ahmad masih menyimpan kelam di lubuk hatinya. Ahmad sangat
prihatin dengan sakit Ambu yang tampak parah. Namun yang lebih menekan jiwanya
adalah tentang shalat Ambu, bagaimana kalau malaikat menjemput ambunya ketika
Ambu belum mengenal shalat?
Malam
itu Ahmad menyiapkan diri untuk tahajjud, juga sahur untuk berpuasa sunnah
esoknya. “Terimalah ikhtiar hamba ini, Allah,” doa Ahmad.
....
Ketika
Ahmad bangun, hawa dingin sangat menusuk. Berwudhu di Akhir malam tak mungkin
dilakukan dengan air pegunungan yang sedingin es. Tangan Ahmad merinding
kedinginan bahkan kakinya sampai hampir tak terasa keberadaannya. Ahmad pun
berwudhu dengan air ceret yang hangat.
Binyalakannya
tungku dengan bonggol jagung yang kering. Dapur yang luas, dingin, dan gelap,
namun di muka Ahmad berkobar gegap gempita berderak-derik bonggol jagung
menjadi bara. Ahmad duduk di dingklik kayu di muka tungku sambil melahap nasi
ditemani sayur lombok ijo. Nikmatnya luar biasa. Direguknya teh panas dengan
gula aren. Betapa nikmatnya ketika teh panas itu mulai menyusupi rongga mulut Ahmaad, tenggorokan, rongga dada
hingga ke perut.
Dengan
tubuh hangat Ahmad mulai berzikir, mencicipi kenikmatan tak terperi malafaikan
nama-nama Allah yang indah. Bergetar jiwanya. Merugilah mereka yang tak
berusaha mengenal Dia. Sunguh Allah tak pernah tidur. Ketika semua makhluk
lelap dalam senyapnya malam, tak putus Dia mengabulkan segala doa, menunjukkan
jalan terindah menjuju keridhoan-Nya.
Digarang
di muka api, tubuh Ahmad semakin menghangat, semantara hatinya dihangatkan oleh
bacaan Al Quran. Usai sahur danmengaji, Ahmad pun berdiri menghadap Allah lewat
tahajjud. Betapa nestapa Ahmad mengingat ibunya yang sedang sakit, yang belum
jua shalat. “Berikanlah kesembuhan pada Ambu, atau khusnul khatimah jika Engkau
menghendaki sebaliknya, ya Allah,” Ahmad mengiba.
Di malam
yang syahdu itu surat An Naas terasa begitu menggetarkan. Ahmad jadi merasa
sangat menghayati sujudnya seorang hamba kepada Rabbnya, sujud dengan segala
kerendahan dan penyerahan diri. “Sesungguhnya aku sayang Ambu, tapi Engkaulah
pemilik Ambu ya, Allah. Pastilah Engkau lebih sayang lagi padanya, Allah...”
Malam
semakin mendekati ujung, Ahmad malah semakin gamang karena merasa istighfarnya
belum juga ditanggapi Allah. “Ya, Allah, mohon kiranya Engkau berkenan memberi
pertanda, bahwa Engkau mendengar doa kami.”
Menunggu
adzan Shubuh, Ahmad terus menggiatkan istighfar, memohon ampunan bagi Ambu dan
dirinya. Jemarinya tanpa sadar membuka-buka lembar tafsir Al Quran. Ahmad
takjub tak terkira ketika matanya terantuk pada kalimat : “... dan yang memohon
ampun di waktu sahur....”
“Bukankah
itu yang sedang hamba kerjakan ya, Allah?” bisik Ahmad. Bergegas matanya
menelusuri ayat tersebut secara menyeluruh dan tak dapatlah perasaannya saat
itu dilukiskan karena begitu terguncangnya hatinya membaca surat Ali Imron ayat
15-16 di mana Allah berfirman :
‘Katakan : “Inginkah Aku kabarkan
padamu apa yang lebih baik dari yang itu?” untuk orang yang bertaqwa (pada
Allah), di sisi Tuhan mereka ada syurga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan istri-istri yang disucikan serta
keridhaan Allah, dan Allah Maha Melihat akan hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang
yang berdoa : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah
segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (Yaitu) orang-orang
yang sabar, yang benar, yang tetap ta’at, yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah, dan yangmemohon ampun di waktu sahur.’
Subhanallah,
air mata Ahmad bercucuran. Malam itu begitu nyata. Ia menjanjikan ampun
dakah di dunia ini yang lebih berharga dari daripada ridho dan
ampunan-Nya?
Adzan
shubuh memanggil. Ahmad keluar menuju masjid yang hanya dipisahkan sepetak
tanah kosong dengan rumahnya.
Shubuh
yang indah. Ditutup dengan jamaah bersama-sama bershalawat dengan shalawat yang
nadanya mirip tembang Jawa dan tidak pernah Ahmad temukan di masjid mana pun di
Jakarta. Shalawat yang selalu membuatnya rindu Rasulullah Saw. dan rindu shalat
berjamaah di Kenjuran.
Ciri
unik lain shalat berjamaah di masjid ini adalah ramainya suara batuk para
jamaah. Maklum, dinginnya bukan kepalang. Namun, dari shaf jamaah wanita di
belakang, ada satu suara batuk khas yang tak mungkin salah Ahmad kenali.
“Subhanallah,
Ambu?” heran Ahmad. Tak sabar disibaknya tirai pemisahan dijumpainya Ambu dan
Bulik duduk dalam mukena mereka.
Diraihnya
dan diciuminya bertubi-tubi.
Melihat
mata Ahmad yang penuh keheranan, Bulik berkata tanpa ditanya, “Ahmad ingat
terakhir kali Ambu telepon Ahmad? setelah itu ambumu langsung mau shalat.
Alhamdulillah. Sudah sebulan ini shalat wajib tiada yang bolong.”
“Terima
kasih Allah, hidayah yang sangat indah,” bisik Ahmad dalam hati. Senyum
bahaganya tak jua menyusut. Lama sekali.
.....
Ahmad
memaksa supir ojek ngebut laksana angin setelah mendengar kabar jatuhnya Ambu
yang disampaikan salah seorang tetangganya.
Ia masih
ingat beberapa saat sebelumnya Ambu melepas kepergiannya ke Jakata, setealah
seminggu ia tinggal di Kenjuran. Meski berat, anak muda itu menyadari bahwa
banyak yang harus ia urus di kampusnya berkaitan dengan kelulusannya.
Sungguh
Ahmad tidak memiliki firasat apa pun saat berangkat, sampai seorang tetangga
dekat rumahnya mengabarkan perihal Ambu yang tiba-tiba tak sadarkan diri.
Ketika
ia tiba, rumahnya sudah ramai oleh warga. Rupanya kabar telah tersiar. “Ambu?”
Ahmad menerobos masuk ke kamar Ambu.
Kebingungan,
Ahmad mencoba untuk tenang, duduk di lantai, menggenggam tangan Ambu dan
membimbing beliau tahlil. Dalam pejam Ambu, Ahmad melihat ada air bening yang
menggulir keluar dari mata beliau.
“Kalung,
Mad, kalung...,” suara Ambu sangat lirih, nyaris tak terdengar.
“Kalung
apa, Ambu sayang?” tanya Ahmad, mengusap pipi ambu.
“Kalung...
da... ri... a... yah,” jawab Ambu makin pelan, terpatah-patah.
Mendengarnya,
Ahmad tak kuasa untuk tergugu. Pemuda gagah itu pun menangis, “Maafkan Ahmad,
Ambu... ampuni Ahmad... kalung itu sudah tidak ada,” sesal Ahmad miris
“Bu...
kan... itu... Mad,” sela Ambu di tengah nafasnya yang mulai satu-satu. Matanya
masih erat terpejam.
“Kalung
itu... bercahaya terang... sekali, indah...,” ruangan senyap mendengarvtutur
Ambu. “Mad, kalung itu... seolah menuntun... Ambu... ke tempat... terang...
cahaya...”
Subhanallah.
Ahmad jadi terkenang kalung yang tak dapat ditebusnya karena menolong Edi.
“Allah, ternyata Engkau menebusnya untuk kami... Engkaukah pembeli kalung yang
dilelang itu?”
..tamat..
*Cerpennya
ini menjadi cerpen terbaik dari hampir 100 orang peserta AsmaNadia Writing
Workshop
Subhanallah.. Keren banget..
BalasHapusTapi sayang, penulisannya masih banyak yang salah ketik.. :D
lanjutkan bu Galuh
BalasHapus