.....“Formulir apa itu Go?” seorang
guru Fisika menanyakanku.
“Eh, ibu.. formulir beasiswa Bidik
Misi Bu,”jawabku. Kemudian, aku sedikit menjelaskan kepada beliau seputar
beasiswa Bidik Misi dan keinginanku memperoleh beasiswa. Aku turut menjelaskan
beasiswa Bidik Misi kepada Nenda ketika dia menanyakan hal yang serupa.
Di hari berikutnya aku berkunjung
ke ruang BP mengeluarkan kegundahan hatiku selama ini..
“Bu, saya keberatan dengan biaya kuliah yang
dilampirkan IPB, gimana ya Bu solusinya?” tanyaku kepada guru BP.
“Coba kamu minta keringanan
langsung aja ke IPB, mungkin IPB punya kebijakan khusus untuk memperingan biaya
kuliah kamu” jawab guru BP itu dengan penuh perhatian.
Keesokan harinya setelah aku
rundingkan dengan ayah dan ibuku, aku putuskan ke IPB untuk meminta keringanan
biaya. Semangatku saat itu bagaikan api yang baru terperciki minyak tanah
setelah pada malam harinya aku mendengar bahwa kedua orang tuaku akan sangat
mengusahakan membiayai kuliahku, bahkan kalau perlu menjual rumahku.
Bersama ayahku, aku masuk ke
bagian Administrasi dan Pendidikan di Gedung Rektorat IPB dan langsung
mengutarakan maksudku ke sana. Dengan wajah yang kurang meyakinkan kami disuruh
membuat surat permohonan keringanan biaya oleh salah seorang yang ada di sana
untuk diajukan ke Rektor IPB. Saat itu juga aku langsung menuju warnet untuk
membuat surat itu bersama ayahku. Salah satu hikmah kejadian ini adalah membuat
hubungan kami berdua semakin erat. Motivasiku yang kuat untuk memperoleh
beasiswa dipadukan dengan semangat menyekolahkan anak setinggi-tingginya,
menjadi energi tersendiri bagi surat itu agar mampu meluluhkan hati Kepala
Kampus. Ah, sungguh pengalaman indah yang tak mudah dilupakan.
Kami disuruh menunggu keputusannya
beberapa saat. Tidak lama kemudian, keputusan yang dinanti datang. Sayang,
kabar baik belum sepakat kepada kami, keringanan tidak bisa diberikan, Alloh
masih ingin aku berusaha lebih gigih lagi. Ternyata, penolakan itu arti dari mimik
wajah orang tadi. Betapa kecewanya diriku ketika mendengar itu dan hatiku lebih
pedih lagi ketika melihat rona kekecewaan yang terpancar dari wajah ayahku. Ah,
maafkan aku ayah sudah mengecewakanmu.
Usahaku tidak berhenti sampai di
sini, aku cari info beasiswa lain yang mungkin akan berpihak padaku. Dan benar
saja, “Ada beasiswa pengganti Bidik Misi yang bisa aku usahakan”pikirku.
Beasiswa itu adalah Beastudi Etos Dompet Dhuafa. Namun lagi-lagi, aku harus
menelan kekecewaan karena jurusan yang telah aku pilih(Matematika) tidak ada di
daftar jurusan yang direkomendasikan Beastudi Etos di IPB. Tapi, aku tidak
mempedulikannya. Aku datang langsung ke kantor pusatnya untuk menanyakan bisa
atau tidaknya aku menerima Beastudi Etos. Dan lagi, nampaknya nasib baik belum
berpihak kepadaku, kantornya tutup karena aku datang terlalu sore.
Keinginan yang kuat untuk
mendapatkan beasiswa membawaku pada cara lain. Aku mendaftar ke universitas lain
yang ternyata undangannya berdatangan setelah aku dinyatakan diterima IPB pada
bulan Januari. Sempat kecewa, menyesal, dan pundung atas keadaan itu, tapi
segera aku hilangkan. Aku mengambil formulir pendaftaran beberapa universitas,
seperti UNJ, UIN, dan UNDIP.
“Kiki mau coba daftar ke
universitas lain pa, ma, supaya bisa dapet Beasiswa Bidik Misi.”Tanyaku kepada
kedua orang tuaku.
“Emang bisa? Coba aja siapa tau
bisa. Siapin semua persyaratannya.”jawab ibuku dengan logat kasih sayangnya
yang khas.
“Doain aja semoga Kiki bisa kuliah
di PTN dengan beasiswa”
“Iya, pasti selalu mama doain.”
Sahut ibuku.
Sikapku yang ambisius ini ternyata
tidak mendapat persetujuan. Aku sampai dipanggil guru BP terkait keinginanku
untuk mendaftar universitas lain setelah aku diterima di IPB.
“…tapi saya ingin kuliah dengan
beasiswa. Saya ingin kuliah tanpa membebani keluarga, saya tidak ingin bapa dan
ibu saya kelelahan hanya untuk mencari biaya kuliah saya. Beban mereka sudah
banyak dan saya ga mau menambah beban mereka lagi. Ini saatnya saya belajar
mandiri” tegasku.
“Masalah biaya itu bisa diatasi.
Di sana banyak beasiswa, kamu bisa dapetin salah satunya. Lagipula, kalo kamu
menolak IPB, sekolah ini akan tercoreng sehingga jumlah kuota USMI tahun depan
akan berkurang. Jurusan matematika IPB bagus lho, banyak lapangan kerjanya,
sayang banget kalo dilepas.” Kata guru-guru di sana.” Kata guru-guru di ruang
BP.
Berminggu-minggu kemudian, Entah
kenapa, keinginanku mendaftar di universitas lain hilang begitu saja, ga nafsu lagi. Pembayaran IPB yang tiga
tahap pun sudah aku penuhi semua. Uangnya ternyata berasal dari pinjaman dari
bos ayahku dan Bank. Alhamdulillaah.
Usahaku berikutnya adalah
mengikuti seleksi Beasiswa Pilot dari Batavia Air. Aku mendapat info itu di
bulan Pebruari dari teman ayahku. Tahapan seleksinya banyak, sekitar delapan
kali. Alhamdulillah, aku termasuk
orang yang lulus tahap awal, seleksi administrasi. Kemudian, aku mengikuti
seleksi tahap dua, ujian tulis. Alhamdulillaah
lulus lagi. Bukan main senangnya saat itu. bayangkan, lulusan SMA mampu
mengalahkan ratusan orang kantoran, anak kuliahan, bahkan taruna penerbangan
dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, kebahagiaan itu tidak bisa aku
lanjutkan. Aku tidak mengikuti seleksi tahap tiga, tes kebugaran. Alasannya,
aku sudah kuliah matrikulasi di IPB, dan bapakku menyarankanku untuk memilih
IPB saja karena seleksi Beasiswa Pilot masih banyak, “Pilih yang pasti-pasti
aja” Begitu kata ayahku.
Beasiswa Pilot ini sangat
menggiurkan. Biaya kuliah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Batavia Air, uang
saku bulanan lebih dari lima ratus ribu, ikatan dinas, tempat kuliah tidak
terlalu jauh dari rumahku, dan kalau sudah jadi Pilot nanti akan digaji puluhan
juta. Siapa yang tidak tertarik?
Aku sempat berpikir, Beasiswa
Pilot dengan IPB ibarat neraka dan surga. Kalau aku memilih Beasiswa Pilot, aku
membayangkan aku akan sering memakai pakaian ketat, sedangkan sholat tidak
boleh memakai pakaian ketat. Saat sudah menjadi Pilot, aku akan lebih sering
meninggalkan istri dan anakku, ditambah lagi ada rumor yang menyatakan bahwa
tidak jarang Pilot menjalin hubungan dengan pramugari. Naudzubillaah. Sedangkan jika aku memilih IPB, saat aku sudah lulus
nanti, pekerjaanku tidak akan menuntutku meninggalkan istri dan anakku. Selain
itu, aku bisa mengoptimalkan ibadahku meskipun aku belum tahu kondisi IPB saat
itu, yang pasti hatiku lebih nyaman dengan IPB. Mungkin itu merupakan jawaban
dari Alloh atas doa yang sering aku sampaikan.
bersambung...
hidup itu pilihan kan??
BalasHapusklo dipikir2, usaha kita tak semulus usaha teman2 yang lain, tapi hal inilah yang membuat kiya lebih dewasa dan lebih menghargai segala usaha yang dilakukan...
semangaaattt!!!