Selasa, 24 April 2012

.....“Formulir apa itu Go?” seorang guru Fisika menanyakanku.
“Eh, ibu.. formulir beasiswa Bidik Misi Bu,”jawabku. Kemudian, aku sedikit menjelaskan kepada beliau seputar beasiswa Bidik Misi dan keinginanku memperoleh beasiswa. Aku turut menjelaskan beasiswa Bidik Misi kepada Nenda ketika dia menanyakan hal yang serupa.
Di hari berikutnya aku berkunjung ke ruang BP mengeluarkan kegundahan hatiku selama ini..
 “Bu, saya keberatan dengan biaya kuliah yang dilampirkan IPB, gimana ya Bu solusinya?” tanyaku kepada guru BP.
“Coba kamu minta keringanan langsung aja ke IPB, mungkin IPB punya kebijakan khusus untuk memperingan biaya kuliah kamu” jawab guru BP itu dengan penuh perhatian.
Keesokan harinya setelah aku rundingkan dengan ayah dan ibuku, aku putuskan ke IPB untuk meminta keringanan biaya. Semangatku saat itu bagaikan api yang baru terperciki minyak tanah setelah pada malam harinya aku mendengar bahwa kedua orang tuaku akan sangat mengusahakan membiayai kuliahku, bahkan kalau perlu menjual rumahku.
Bersama ayahku, aku masuk ke bagian Administrasi dan Pendidikan di Gedung Rektorat IPB dan langsung mengutarakan maksudku ke sana. Dengan wajah yang kurang meyakinkan kami disuruh membuat surat permohonan keringanan biaya oleh salah seorang yang ada di sana untuk diajukan ke Rektor IPB. Saat itu juga aku langsung menuju warnet untuk membuat surat itu bersama ayahku. Salah satu hikmah kejadian ini adalah membuat hubungan kami berdua semakin erat. Motivasiku yang kuat untuk memperoleh beasiswa dipadukan dengan semangat menyekolahkan anak setinggi-tingginya, menjadi energi tersendiri bagi surat itu agar mampu meluluhkan hati Kepala Kampus. Ah, sungguh pengalaman indah yang tak mudah dilupakan.
Kami disuruh menunggu keputusannya beberapa saat. Tidak lama kemudian, keputusan yang dinanti datang. Sayang, kabar baik belum sepakat kepada kami, keringanan tidak bisa diberikan, Alloh masih ingin aku berusaha lebih gigih lagi. Ternyata, penolakan itu arti dari mimik wajah orang tadi. Betapa kecewanya diriku ketika mendengar itu dan hatiku lebih pedih lagi ketika melihat rona kekecewaan yang terpancar dari wajah ayahku. Ah, maafkan aku ayah sudah mengecewakanmu.
Usahaku tidak berhenti sampai di sini, aku cari info beasiswa lain yang mungkin akan berpihak padaku. Dan benar saja, “Ada beasiswa pengganti Bidik Misi yang bisa aku usahakan”pikirku. Beasiswa itu adalah Beastudi Etos Dompet Dhuafa. Namun lagi-lagi, aku harus menelan kekecewaan karena jurusan yang telah aku pilih(Matematika) tidak ada di daftar jurusan yang direkomendasikan Beastudi Etos di IPB. Tapi, aku tidak mempedulikannya. Aku datang langsung ke kantor pusatnya untuk menanyakan bisa atau tidaknya aku menerima Beastudi Etos. Dan lagi, nampaknya nasib baik belum berpihak kepadaku, kantornya tutup karena aku datang terlalu sore.
Keinginan yang kuat untuk mendapatkan beasiswa membawaku pada cara lain. Aku mendaftar ke universitas lain yang ternyata undangannya berdatangan setelah aku dinyatakan diterima IPB pada bulan Januari. Sempat kecewa, menyesal, dan pundung atas keadaan itu, tapi segera aku hilangkan. Aku mengambil formulir pendaftaran beberapa universitas, seperti UNJ, UIN, dan UNDIP.
“Kiki mau coba daftar ke universitas lain pa, ma, supaya bisa dapet Beasiswa Bidik Misi.”Tanyaku kepada kedua orang tuaku.
“Emang bisa? Coba aja siapa tau bisa. Siapin semua persyaratannya.”jawab ibuku dengan logat kasih sayangnya yang khas.
“Doain aja semoga Kiki bisa kuliah di PTN dengan beasiswa”
“Iya, pasti selalu mama doain.” Sahut ibuku.
Sikapku yang ambisius ini ternyata tidak mendapat persetujuan. Aku sampai dipanggil guru BP terkait keinginanku untuk mendaftar universitas lain setelah aku diterima di IPB.
“…tapi saya ingin kuliah dengan beasiswa. Saya ingin kuliah tanpa membebani keluarga, saya tidak ingin bapa dan ibu saya kelelahan hanya untuk mencari biaya kuliah saya. Beban mereka sudah banyak dan saya ga mau menambah beban mereka lagi. Ini saatnya saya belajar mandiri” tegasku.
“Masalah biaya itu bisa diatasi. Di sana banyak beasiswa, kamu bisa dapetin salah satunya. Lagipula, kalo kamu menolak IPB, sekolah ini akan tercoreng sehingga jumlah kuota USMI tahun depan akan berkurang. Jurusan matematika IPB bagus lho, banyak lapangan kerjanya, sayang banget kalo dilepas.” Kata guru-guru di sana.” Kata guru-guru di ruang BP.
Berminggu-minggu kemudian, Entah kenapa, keinginanku mendaftar di universitas lain hilang begitu saja, ga nafsu lagi. Pembayaran IPB yang tiga tahap pun sudah aku penuhi semua. Uangnya ternyata berasal dari pinjaman dari bos ayahku dan Bank. Alhamdulillaah.
Usahaku berikutnya adalah mengikuti seleksi Beasiswa Pilot dari Batavia Air. Aku mendapat info itu di bulan Pebruari dari teman ayahku. Tahapan seleksinya banyak, sekitar delapan kali. Alhamdulillah, aku termasuk orang yang lulus tahap awal, seleksi administrasi. Kemudian, aku mengikuti seleksi tahap dua, ujian tulis. Alhamdulillaah lulus lagi. Bukan main senangnya saat itu. bayangkan, lulusan SMA mampu mengalahkan ratusan orang kantoran, anak kuliahan, bahkan taruna penerbangan dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, kebahagiaan itu tidak bisa aku lanjutkan. Aku tidak mengikuti seleksi tahap tiga, tes kebugaran. Alasannya, aku sudah kuliah matrikulasi di IPB, dan bapakku menyarankanku untuk memilih IPB saja karena seleksi Beasiswa Pilot masih banyak, “Pilih yang pasti-pasti aja” Begitu kata ayahku.
Beasiswa Pilot ini sangat menggiurkan. Biaya kuliah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Batavia Air, uang saku bulanan lebih dari lima ratus ribu, ikatan dinas, tempat kuliah tidak terlalu jauh dari rumahku, dan kalau sudah jadi Pilot nanti akan digaji puluhan juta. Siapa yang tidak tertarik?
Aku sempat berpikir, Beasiswa Pilot dengan IPB ibarat neraka dan surga. Kalau aku memilih Beasiswa Pilot, aku membayangkan aku akan sering memakai pakaian ketat, sedangkan sholat tidak boleh memakai pakaian ketat. Saat sudah menjadi Pilot, aku akan lebih sering meninggalkan istri dan anakku, ditambah lagi ada rumor yang menyatakan bahwa tidak jarang Pilot menjalin hubungan dengan pramugari. Naudzubillaah. Sedangkan jika aku memilih IPB, saat aku sudah lulus nanti, pekerjaanku tidak akan menuntutku meninggalkan istri dan anakku. Selain itu, aku bisa mengoptimalkan ibadahku meskipun aku belum tahu kondisi IPB saat itu, yang pasti hatiku lebih nyaman dengan IPB. Mungkin itu merupakan jawaban dari Alloh atas doa yang sering aku sampaikan.
  
bersambung...

 

1 komentar :

  1. hidup itu pilihan kan??

    klo dipikir2, usaha kita tak semulus usaha teman2 yang lain, tapi hal inilah yang membuat kiya lebih dewasa dan lebih menghargai segala usaha yang dilakukan...
    semangaaattt!!!

    BalasHapus