Minggu, 22 Juli 2012


Pada suatu sore yang cerah, terlihat dua orang yang sedang duduk-duduk di depan ruangan pinus 2, membahas konsep acara semarak Muharram untuk departemen tempat mereka kuliah. Mereka adalah Febri dan Hikmah. Keduanya ingin membuat acara penyambutan tahun baru Islam yang heboh, kreatif, unik, dan menarik agar semakin banyak orang yang tahu bahwa Islam juga punya tahun baru yang lebih istimewa.
Tanpa diduga, muncul seorang cowok menuruni anak tangga satu per satu dari ruang Pinus 1, melewati mereka tanpa permisi. Rambutnya gondrong bergelombang sebahu. Pakaiannya lumayan trendi; kaos putih merk Dagadu di balut sweater abu-abu merk Quicksilver dan tak lupa celana jeans tipe pensil (dari atas ke bawah semakin mengecil). Lengan kirinya terkalungkan 5 buah gelang rotan bermotif batik. Sedangkan lengan kanannya menyangga tas ransel usangnya yang penuh dengan coretan spidol, di bahunya. Mahasiswa mode on. Bahkan beberapa kalung yang tersusun dari biji-bijian berwarna coklat pekat menggantung di lehernya.
Melihat cowok tadi, Febri nyeletuk, “Eh, si ikhwan lewat tuh!”
Dengan mimik wajah agak shock, sambil mengernyitkan dahi Hikmah membalas celetukan Febri, “Ikhwan? Are you sure? Nggak salah?”
“Ye.. Beneran Hikmah. Dia itu ikhwan” tegas Febri berusaha meyakinkan Hikmah.
“Ga percaya! Masa sih ikhwan kaya gitu? Ikhwan tuh kaya Kak Angga. Suka pake kemeja, celana bahan, dan sering ngisi pengajian. Rambutnya klimis berjenggot tipis. Rapi. Nggak kaya cowok barusan. Kalo dia mah bukan ikhwan, tapi bakwan.”jawab Hikmah dengan tegas.
“Ko ngeyel sih? Dia itu beneran ikhwan..” Febri tetep ngotot sepenuh jiwa.
“Ikhwan funky kali ya? Ckckck. Zaman memang sudah mengubah ikhwan menjadi makhluk trendy, rupanya. Masa sih kelakuan ikhwan sudah kaya cowok yang suka jalan2 ke mall atau nge-hedon gitu? Setahu Hikmah, ikhwan yang dulu tuh doyan banget diskusi atau ngumpul2 dalam acara kajian Islam.” Seru Hikmah dengan mimik wajah keheranan.
Febri geleng2 sambil garuk2 kepala. “Hikmah.Hikmah.. kamu ternyata salah paham sama ikhwan yang aku maksud. Pantesan dari tadi aku ngerasa kita ga nyambung. Orang yang tadi lewat tuh emang beneran ikhwan. Ikhwan Jaenuddin, anaknya Bapak Asep Jaenudin, yang katanya juragan kambing Ettawa itu loh..”
Mendengar kata-kata Febri, Hikmah terkejut dan melongo. Dirinya seperti lilin yang lumer dibakar api. Wajahnya merah padam kayak kepiting rebus. Malu karena dia sudah ngotot sepenuh jiwa, padahal dia salah. Di samping Hikmah, Febri tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Bahkan matanya sampai berair karena tak tahan melihat wajah Hikmah yang merah tersipu malu.
  

0 komentar :

Posting Komentar