Senin, 17 Desember 2012


 Betapa tenteram dan nyamannya hidup ini jikalau di dalam hati tidak memiliki perasaan berharap kepada manusia. Setiap langkah yang terayun, keringat yang menetes, bahkan tenaga dan pikiran yang dikeluarkan adalah dalam rangka mempersembahkan yang terbaik agar Alloh suka dan cinta. Betapa bebasnya hidup ini jikalau hati tak terikat oleh makhluk. Setiap hari bebas dari memikirkannya, bebas menentukan arah yang diinginkan, dan yang terpenting adalah terbebas dari “perbudakan”. Benar-benar bahagia seperti burung yang terbang bebas di udara atau ikan yang berenang di lautan.
Tahukah kita, ternyata hal yang sering membuat kita sakit hati bukanlah hujatan atau makian orang lain kepada kita, tetapi karena adanya perasaan ingin dipuji, dihargai, dan dicintai oleh manusia yang menyesaki ruang hati kita. Betapa lelahnya orang yang hidup seperti ini, dia akan rela mengerahkan segenap daya dan upaya yang dimilikinya hanya agar orang lain memuji atau memberi penghargaan kepadanya. Fikirannya terlalu fokus pada penilaian manusia sampai-sampai melupakan, bahkan menghilangkan kedudukan Alloh di hatinya. Miris sekali rasanya.
Sungguh, semua pandangan dan penilaian dari manusia tidak akan kekal, hanya sebentar, lalu buyar. Memang, pada awalnya, orang yang telah sukses membuat orang lain memujinya, dia akan merasakan kebahagiaan yang besar, seakan-akan dia adalah orang yang paling hebat. Tetapi, ternyata semua anggapan itu tak sepenuhnya benar. Kebahagiaan yang dirasakannya semu dan tak akan lama. Semu karena sebenarnya penghargaan manusia itu tipuan yang bisa membuat terlena jika tak pandai menyikapinya. Penghargaan-penghargaan manusia pun hanya sebentar seperti ember yang jatuh, “gubrak!!” lalu selesai.
Tidak dilarang merasa bahagia dengan pujian atau penghargaan semacamnya dari manusia. Tapi yang perlu diperhatikan adalah cara kita menyikapinya. Jikalau kita menyikapinya dengan bangga diri, atau sombong, maka itulah yang tak diperbolehkan. Misalnya, ketika ada orang yang diwisuda dengan memakai pakaian toga atau ketika baru menjabat sebagai direktur suatu perusahaan, lalu temannya memuji, “Bro, sumpah lo keren banget hari ini. Gagah..”. lalu, dia menanggapinya, “Ah, biasa ini mah. Emang dasarnya gue udah keren kali..” atau “Weits, gue gitu loh. Kerja keras gue nih..” atau malah seperti ini, “Ya iyalah. Emang lo, dari dulu sampe sekarang ga lulus-lulus? Haha.. –tertawa sambil megang perut-” Ini yang salah. Alangkah baiknya jika dia menanggapi pujian tadi dengan kata-kata seperti ini, “Masa? Ah,ini kan juga karena bantuan lo bro..” atau “Oh gitu ya? Alhamdulillaah, ini hadiah dari Alloh atas usaha dan doa gue selama ini. Biasa aja,  jangan terlalu belebihan memuji gue” atau seperti ini, “Alhamdulillaah. Lo kalo berada posisi kayak gue juga keliatan keren ko. Semoga hati gue lebih keren daripada tampilan luar gue”
Terlihat sangat kontras dua macam tanggapan di atas. Tanggapan yang pertama sampai tiga bernadakan kesombongan, bangga diri, dan yang lebih parah adalah tak bersyukur. Menganggap bahwa yang ada pada dirinya saat itu adalah buah dari kerjakerasnya selama ini, tak menyertakan sedikit pun peran Alloh yang sebenarnya telah memberinya izin sehingga menjadi seperti itu. Coba kalau Alloh tak mengizinkan? Sangat mustahil ia akan seperti itu. Malah mungkin yang ada, dia akan menjadi terhina dan dicaci-maki banyak orang.
Pada tanggapan yang empat sampai enam, kerendahhatian begitu kental terasa. Tidak sombong, bangga diri, atau melecehkan orang lain. Itulah sebaik-baik pribadi, atau akhlak yang mulia. Dia menganggap bahwa dirinya bukanlah apa-apa kalau Alloh tak memberinya kesempatan untuk seperti itu. Dia juga menganggap semuanya sebagai bentuk kasih sayang Alloh kepada dirinya yang senantiasa berusaha dengan optimal dan sungguh-sungguh berdoa. (bersambung..)

0 komentar :

Posting Komentar