Jumat, 27 April 2012

<next> Setelah berkuliah di IPB, Hari-hariku cukup sering dibimbangi oleh keinginan meringankan beban orang tuaku. Akhirnya, keinginan itu meluap dan memicu syaraf-syaraf motorikku untuk bergerak mewujudkan keinginan yang telah lama terpendam di bunker hatiku. Sepulang dari kuliah olahraga, aku putuskan untuk bekerjasama dengan tukang roti di Bara dengan kesepakatan bahwa aku akan menjual rotinya ke teman-temanku dan jika rotinya tidak habis akan dikembalikan kepadanya.
Pasca kesepakatan itu, aku memulainya dengan membawa satu kotak roti yang berisi lima belas buah roti. Alhamdulillaah, ajaib, roti itu habis dalam waktu singkat! Secara perlahan aku tingkatkan jumlah barang daganganku hingga penghasilanku mencapai lebih dari tiga ratus ribu dalam sebulan. Tanpa sadar, ternyata aku menjadi inspirator bagi teman-temanku berjualan di asrama. Akhirnya, berangsur-angsur pedagang di asrama semakin banyak dan dagangannya pun bermacam-macam. Dasar IPB, entrepreneurship banget.
Kenikmatan itu berlangsung selama kurang lebih empat bulan, setelah itu ujian menghadangku. Roti yang aku jual tersaingi oleh beragam dagangan yang dijual teman-temanku, ada donat, risol, molen raksasa, dan lainnya. Berulang kali aku ganti barang dagangan, penghasilanku tidak kunjung membaik. Aku mencoba mencari ide alternatif usaha lain. Hingga pada suatu hari, ada pengumuman pendaftaran beasiswa BBM dan aku  mendaftarkan diri. Alhamdulillaah, diterima. Bukan main senangnya saat itu. Aku menjadi semakin yakin bahwa Alloh memang Maha Mengetahui jeritan hati setiap makhlukNYA.
Besarnya beasiswa BBM setiap bulannya sebesar Rp 450.000. Awalnya aku berpikir bahwa uang beasiswa akan turun setiap bulan, tapi ternyata uang beasiswa BBM diberikan dengan cara dirapel atau diakhirkan.
Enam bulan setelah OR beasiswa BBM, aku mendapatkan sms sebaran yang berisikan OR Beastudi Etos untuk satu orang. Aku terkejut. “Ini kan beasiswa yang waktu itu ingin aku ikuti, masih bisa ikut ga ya? Coba dah..”gumamku.
Kebetulan tetangga kamarku di asrama TPB, Andri, anak Etos juga. Aku mulai menyelidiki, mencari tahu segala tentang Etos. Beberapa hari kemudian aku azamkan diri untuk  mendaftarkan diriku ke sana setelah terpenuhi semua persyaratannya.
Saat wawancara, kira-kira ada lebih dari sepuluh peserta yang mendaftar. Aku berusaha seoptimal mungkin untuk lulus dari semua rangkaian seleksi. Masyaa Alloh, aku diterima. Pengumumannya di bulan Pebruari, awal semester dua, tapi salah satu syaratnya adalah tidak mendapatkan beasiswa lain, akhirnya beasiswa BBM aku lepas dengan semua pengalamannya. 
Sebelum dinyatakan diterima, aku disuruh oleh orang terakhir yang mewawancaraiku  untuk menginap di asetra yang pada saat itu penghuninya sedang liburan, orang itu adalah Mas Budi, Koordinator Etos Wilayah Bogor. Aku disuruh menginap karena aku datang langsung dari Tangerang untuk wawancara terakhirku yang dilakukan di sore hari sehingga tidak mungkin untuk langsung pulang lagi ke Tangerang. Di awal keberangkatanku ke Bogor, aku sempat berpikir setelah wawancara nanti aku akan menginap di Asrama TPB, tapi ternyata Alloh punya rencana lain yang jauh lebih indah, aku disuruh menginap di Asrama Etos. Alhamdulillaah. Ah, seru sekali.
Sekali lagi keyakinanku kepada Alloh bertambah dengan diterimanya aku sebagai Etoser, sebutan bagi penerima Beastudi Etos. Hal yang membuatku takjub kepada Alloh adalah dikabulkannya doaku oleh Beliau. Dulu, aku menyampaikan sederet doa kepada Alloh dengan penuh harap dan agak sedikit memaksa. Kira-kira seperti ini doanya;
Duhai Alloh Yang Maha Baik, aku ingin sekali membantu meringankan beban kedua orang tuaku. Aku ingin agar adikku bisa melanjutkan sekolahnya ke pesantren tahfidz. Tolong yaa Alloh, yaa ‘Aziiz, tolong berikan aku beasiswa di awal semester dua, dan tolong berikan aku tempat tinggal yang murah dan berkualitas agar orang tuaku tidak terbebani dalam membiayai kuliahku dan pesantren adikku nantinya. Aku mohon dengan sangat yaa Alloh..”
Sekarang aku sudah di Etos. Aku merasa sangat beruntung bisa tinggal di asrama Etos kampus IPB karena Etos merupakan beasiswa yang tidak hanya sekedar memberikan beasiswa finansial semata, tapi sangat mengutamakan pembentukan SDM yang berkualitas. Hasilnya, penerima manfaat beastudi Etos (Etoser) menjadi aktivis yang hampir selalu menempati jabatan strategis di suatu organisasi kampus atau kepanitiaan.
Inilah buah dari penantianku, tangisku, dan doa serta harapanku juga orang-orang yang ada di sekitarku selama ini. Aku bahagia telah menjadi bagian dari keluarga besar Etoser karena bagiku, Etos bagaikan sebuah aquarium yang ditata indah menggunakan teknik aquascape. Ikan-ikan, bebatuan, tanaman air, dan air yang jernih, disatukan agar berkolaborasi dan saling mengindahkan satu sama lain, membentuk pemandangan yang indah, suasana yang tenang, nyaman, dan damai. Tidak heran, orang-orang di luar yang melihatnya berdecak kagum penuh pujian, bahkan ingin turut merasakan suasana di dalamnya. Tapi sesungguhnya, segala bentuk pujian dan ibadah hanya untuk Engkau, duhai Alloh Yang Maha Bijaksana, Maha Perkasa, Maha Hebat, Maha Indah, lagi Maha Membulak-balikkan segala keadaan. Semua itu tidak bisa terwujud melainkan dengan izin Alloh, Sang Pemilik Semesta Raya. Satu permohonanku, Tolong bantu aku yaa Alloh, agar mampu menjadi salah satu bagian yang bisa mengindahkan aquarium ini sampai suatu hari nanti. Aamiin..





Selasa, 24 April 2012

.....“Formulir apa itu Go?” seorang guru Fisika menanyakanku.
“Eh, ibu.. formulir beasiswa Bidik Misi Bu,”jawabku. Kemudian, aku sedikit menjelaskan kepada beliau seputar beasiswa Bidik Misi dan keinginanku memperoleh beasiswa. Aku turut menjelaskan beasiswa Bidik Misi kepada Nenda ketika dia menanyakan hal yang serupa.
Di hari berikutnya aku berkunjung ke ruang BP mengeluarkan kegundahan hatiku selama ini..
 “Bu, saya keberatan dengan biaya kuliah yang dilampirkan IPB, gimana ya Bu solusinya?” tanyaku kepada guru BP.
“Coba kamu minta keringanan langsung aja ke IPB, mungkin IPB punya kebijakan khusus untuk memperingan biaya kuliah kamu” jawab guru BP itu dengan penuh perhatian.
Keesokan harinya setelah aku rundingkan dengan ayah dan ibuku, aku putuskan ke IPB untuk meminta keringanan biaya. Semangatku saat itu bagaikan api yang baru terperciki minyak tanah setelah pada malam harinya aku mendengar bahwa kedua orang tuaku akan sangat mengusahakan membiayai kuliahku, bahkan kalau perlu menjual rumahku.
Bersama ayahku, aku masuk ke bagian Administrasi dan Pendidikan di Gedung Rektorat IPB dan langsung mengutarakan maksudku ke sana. Dengan wajah yang kurang meyakinkan kami disuruh membuat surat permohonan keringanan biaya oleh salah seorang yang ada di sana untuk diajukan ke Rektor IPB. Saat itu juga aku langsung menuju warnet untuk membuat surat itu bersama ayahku. Salah satu hikmah kejadian ini adalah membuat hubungan kami berdua semakin erat. Motivasiku yang kuat untuk memperoleh beasiswa dipadukan dengan semangat menyekolahkan anak setinggi-tingginya, menjadi energi tersendiri bagi surat itu agar mampu meluluhkan hati Kepala Kampus. Ah, sungguh pengalaman indah yang tak mudah dilupakan.
Kami disuruh menunggu keputusannya beberapa saat. Tidak lama kemudian, keputusan yang dinanti datang. Sayang, kabar baik belum sepakat kepada kami, keringanan tidak bisa diberikan, Alloh masih ingin aku berusaha lebih gigih lagi. Ternyata, penolakan itu arti dari mimik wajah orang tadi. Betapa kecewanya diriku ketika mendengar itu dan hatiku lebih pedih lagi ketika melihat rona kekecewaan yang terpancar dari wajah ayahku. Ah, maafkan aku ayah sudah mengecewakanmu.
Usahaku tidak berhenti sampai di sini, aku cari info beasiswa lain yang mungkin akan berpihak padaku. Dan benar saja, “Ada beasiswa pengganti Bidik Misi yang bisa aku usahakan”pikirku. Beasiswa itu adalah Beastudi Etos Dompet Dhuafa. Namun lagi-lagi, aku harus menelan kekecewaan karena jurusan yang telah aku pilih(Matematika) tidak ada di daftar jurusan yang direkomendasikan Beastudi Etos di IPB. Tapi, aku tidak mempedulikannya. Aku datang langsung ke kantor pusatnya untuk menanyakan bisa atau tidaknya aku menerima Beastudi Etos. Dan lagi, nampaknya nasib baik belum berpihak kepadaku, kantornya tutup karena aku datang terlalu sore.
Keinginan yang kuat untuk mendapatkan beasiswa membawaku pada cara lain. Aku mendaftar ke universitas lain yang ternyata undangannya berdatangan setelah aku dinyatakan diterima IPB pada bulan Januari. Sempat kecewa, menyesal, dan pundung atas keadaan itu, tapi segera aku hilangkan. Aku mengambil formulir pendaftaran beberapa universitas, seperti UNJ, UIN, dan UNDIP.
“Kiki mau coba daftar ke universitas lain pa, ma, supaya bisa dapet Beasiswa Bidik Misi.”Tanyaku kepada kedua orang tuaku.
“Emang bisa? Coba aja siapa tau bisa. Siapin semua persyaratannya.”jawab ibuku dengan logat kasih sayangnya yang khas.
“Doain aja semoga Kiki bisa kuliah di PTN dengan beasiswa”
“Iya, pasti selalu mama doain.” Sahut ibuku.
Sikapku yang ambisius ini ternyata tidak mendapat persetujuan. Aku sampai dipanggil guru BP terkait keinginanku untuk mendaftar universitas lain setelah aku diterima di IPB.
“…tapi saya ingin kuliah dengan beasiswa. Saya ingin kuliah tanpa membebani keluarga, saya tidak ingin bapa dan ibu saya kelelahan hanya untuk mencari biaya kuliah saya. Beban mereka sudah banyak dan saya ga mau menambah beban mereka lagi. Ini saatnya saya belajar mandiri” tegasku.
“Masalah biaya itu bisa diatasi. Di sana banyak beasiswa, kamu bisa dapetin salah satunya. Lagipula, kalo kamu menolak IPB, sekolah ini akan tercoreng sehingga jumlah kuota USMI tahun depan akan berkurang. Jurusan matematika IPB bagus lho, banyak lapangan kerjanya, sayang banget kalo dilepas.” Kata guru-guru di sana.” Kata guru-guru di ruang BP.
Berminggu-minggu kemudian, Entah kenapa, keinginanku mendaftar di universitas lain hilang begitu saja, ga nafsu lagi. Pembayaran IPB yang tiga tahap pun sudah aku penuhi semua. Uangnya ternyata berasal dari pinjaman dari bos ayahku dan Bank. Alhamdulillaah.
Usahaku berikutnya adalah mengikuti seleksi Beasiswa Pilot dari Batavia Air. Aku mendapat info itu di bulan Pebruari dari teman ayahku. Tahapan seleksinya banyak, sekitar delapan kali. Alhamdulillah, aku termasuk orang yang lulus tahap awal, seleksi administrasi. Kemudian, aku mengikuti seleksi tahap dua, ujian tulis. Alhamdulillaah lulus lagi. Bukan main senangnya saat itu. bayangkan, lulusan SMA mampu mengalahkan ratusan orang kantoran, anak kuliahan, bahkan taruna penerbangan dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, kebahagiaan itu tidak bisa aku lanjutkan. Aku tidak mengikuti seleksi tahap tiga, tes kebugaran. Alasannya, aku sudah kuliah matrikulasi di IPB, dan bapakku menyarankanku untuk memilih IPB saja karena seleksi Beasiswa Pilot masih banyak, “Pilih yang pasti-pasti aja” Begitu kata ayahku.
Beasiswa Pilot ini sangat menggiurkan. Biaya kuliah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Batavia Air, uang saku bulanan lebih dari lima ratus ribu, ikatan dinas, tempat kuliah tidak terlalu jauh dari rumahku, dan kalau sudah jadi Pilot nanti akan digaji puluhan juta. Siapa yang tidak tertarik?
Aku sempat berpikir, Beasiswa Pilot dengan IPB ibarat neraka dan surga. Kalau aku memilih Beasiswa Pilot, aku membayangkan aku akan sering memakai pakaian ketat, sedangkan sholat tidak boleh memakai pakaian ketat. Saat sudah menjadi Pilot, aku akan lebih sering meninggalkan istri dan anakku, ditambah lagi ada rumor yang menyatakan bahwa tidak jarang Pilot menjalin hubungan dengan pramugari. Naudzubillaah. Sedangkan jika aku memilih IPB, saat aku sudah lulus nanti, pekerjaanku tidak akan menuntutku meninggalkan istri dan anakku. Selain itu, aku bisa mengoptimalkan ibadahku meskipun aku belum tahu kondisi IPB saat itu, yang pasti hatiku lebih nyaman dengan IPB. Mungkin itu merupakan jawaban dari Alloh atas doa yang sering aku sampaikan.
  
bersambung...

 

Minggu, 22 April 2012

Tanpa segan, matahari  bersinar di pagi hari itu dengan cerah merona, seolah hendak memberikan tanda bahwa akan ada kabar gembira yang segera menghampiri diriku. Tidak seperti hari-hari biasanya, suasana sekolah swastaku terasa nyaman dan menyenangkan. Udara, pepohonan, lantai lapangan sekolah yang beralaskan aspal, dan riuh rendah suara warga sekolah saat itu seperti ikut sepakat dengan tindakan matahari, memberikan kabar gembira.
Aku jalani rutinitas sekolahku sebagaimana biasanya, namun ada yang berbeda di hari itu. Spesial, hanya sekali, menggembirakan, sekaligus menggelisahkan.
“Go, lo masuk ipb” kata salah seorang teman baikku yang juga mendaftar ke IPB,  Nenda Andremico namanya.
Suasana kelas yang bising karena obrolan dan tawa teman-teman sekelasku menyamarkan suaranya sehingga aku meminta dia mengulang pertanyaannya sekali lagi.
“Ah, yang bener lu Nen?” responku setelah mendengar repetisi pertanyaannya. Ketika mengatakan itu, perasaanku bercampur aduk, ada senang, percaya tidak percaya, bingung, dan yang lainnya.
Memang, pada bulan Desember 2009 yang lalu, aku mendaftar  ke IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI), semacam sistem PMDK yang mengandalkan nilai-nilai dan prestasi siswa mulai dari kelas 10 hingga kelas 12 semester 5 . Jujur, ketika mendaftar ke IPB, aku agak ragu dan sedikit kecewa karena tempat kuliah yang aku inginkan bukan di sana. Targetku adalah UNS (Universitas Sebelas Maret), sebuah Universitas di Solo yang telah aku bicarakan sejak kelas 2 SMA bersama ayah, mulai dari tempat tinggal, biaya makan, transportasi, hingga sekadar pengalaman teman-teman ayah yang tinggal di Solo dalam rangka meramal biaya hidupku di sana.
Segera setelah mendengar kabar kelulusanku di IPB, aku menuju ruang Bimbingan Konseling (BP) yang berada dekat mushola sekolah, memastikan kebenaran berita tersebut.
Assalamu’alaykum, maaf ibu, saya Ego Praniki yang dulu daftar USMI IPB, kelas IPA 2, saya ingin memastikan katanya saya lolos USMI IPB, benarkah? Tanyaku memburu.
Guru BP yang sedang berada di ruangan itu, Bu Ida, langsung menyodorkan berkas pemberitahuan kelulusanku. Aku mengambil kertas itu dan membacanya secara perlahan. Kemudian, pandangan mataku terhenti pada tujuh digit angka di kolom biaya. Aku melongok melihat jajaran angka itu dengan perasaan berdebar gelisah. Bagaimana tidak? Tujuh digit angka itulah yang harus aku setorkan ke IPB, besarnya 8.810.000 rupiah. Nominal yang sangat fantastis untuk diriku yang termasuk golongan kurang mampu.
Aku senang dan bersyukur bisa lulus ke IPB, tapi di sisi lain, barisan angka itu membatasi kegembiraanku, membuatku tercekat menelan ludah ketika melihat dan membayangkannya. “Darimana aku dan keluarga mendapatkan uang sebanyak itu?” Tanya hatiku kepada otakku. Pertanyaan-pertanyan lain yang serupa pun terus menghantui benakku di hari-hari berikutnya.
Kondisi ini memaksaku mencari alternatif cara agar aku tetap bisa kuliah di PTN ternama, salah satunya dengan mencari beasiswa. Aku sengaja tidak mencari beasiswa di ruangan BP karena di sana tidak pernah sekalipun aku menemukan informasi seputar beasiswa, entah apa penyebabnya, aku tidak mau berprasangka buruk. Akhirnya, aku fokuskan pencarianku di web. Cukup aku tuliskan kata “beasiswa” di kolom pencarian Google, beberapa detik kemudian muncul deretan link beasiswa di tahun ini, bahkan beberapa tahun ke belakang.
Dengan sabar aku buka satu per satu link beasiswa yang masih aktif. Setidaknya, ada lebih dari tiga link beasiswa yang aku buka, tapi kebanyakan persyaratan beasiswa itu bukan diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu padahal aku mencari beasiswa yang sifatnya sebagai bantuan bagi golongan tidak mampu. Selain itu, fokus pencarianku juga kepada beasiswa yang menawarkan beasiswa dalam nominal yang besar.
Singkat cerita, sampailah aku pada beasiswa Bidik Misi, salah satu program beasiswa dari pemerintah yang diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu. Setelah menjajaki setiap bacaan yang ada dalam web itu, hatiku perlahan seperti menuju musim semi, bahagia tak terkira laiknya kumbang yang menyambut bunga yang bermekaran sempurna.
Alhamdulillaah, akhirnya ada juga beasiswa yang cocok dengan keinginanku.” Teriakku dalam hati.
Setelah web itu dibaca seluruhnya dengan seksama, segera aku penuhi seluruh persyaratannya. Mengunduh formulir, menyiapkan surat keterangan tidak mampu dan mem-fotocopy buku rapot SMA kelas 10 sampai 12 semester 5.
“Pa, kemarin Kiki nyari beasiswa di internet, terus nemuin beasiswa, Bidik Misi namanya. Persyaratannya, download formulir, surat keterangan tidak mampu, fotokopi rapot, dan lainnya.” Kataku dengan riang.
“Oh, baguslah. Yaudah siapin semua persyaratannya.”kata ayahku, senang.
Keesokan harinya, aku pergi ke ruang BP untuk menanyakan info tentang beasiswa Bidik Misi. Sayangnya, guru-guru di sana tidak tahu seputar beasiswa Bidik Misi. Agak kesal diriku pada saat itu. Tapi ya sudah lah, aku tidak ingin bertindak gegabah. Lebih baik mencari cara lain agar aku bisa tetap kuliah di PTN ternama. Aku melanjutkan pencarianku ke...

Jumat, 20 April 2012

Setiap kepingan waktu adalah momentum. Semua fasenya adalah kesempatan yang tidak akan pernah kembali dalam kondisi yang sama. Masing-masing punya karakter dan fungsi yang berbeda. Hari jumat pekan ini, pasti berbeda dengan hari Jumat pekan lalu. Hari Senin kemarin, tidak akan sama dengan hari Senin sekarang. Walaupun namanya sama-sama hari Jumat dan Senin.
Kepingan-kepingan waktu tidak cukup diartikan sebagai akumulasi detik, menit, jam, atau satuan waktu lainnya. Lebih dari itu, waktu ibarat momentum, sejenis pelontar yang akan melecutkan diri kita ke puncak prestasi atau malah menjatuhkan kita ke kubangan kegagalan, tergantung kepandaian kita menyikapinya..
Jika waktu ibarat momentum, maka sebenarnya ia tidak terletak pada saat-saat tertentu saja, Momentum hidup kita tidak hanya terjadi saat peringatan tanggal kelahiran kita, menerima gajian bulanan, kenaikan kelas, wisuda,  atau saat datang hari raya, melainkan seluruh perjalanannya merupakan momentum hidup yang tidak akan terulang sama persis seperti sebelumnya, makan, bernafas, berjalan kaki, bahkan beristirahat merupakan beberapa contohnya. Begitulah hidup, setiap periodenya memiliki berjuta momentum yang terlalu berharga untuk ditinggalkan.
Kalau ingin tahu seberapa berharganya setiap potongan kecil waktu, tanyakan pada pengendara motor yang nyaris tewas ditabrak truk berkecepatan tinggi. Detik-detik yang dilaluinya saat itu menjadi momentum yang sangat menentukan keberlanjutan hidupnya. Maka detik-detik itulah yang menjadi nyawanya. Selain itu, tanyakan juga pada siswa SMA yang tidak lulus Ujian Nasional. Tiga tahun masa SMA yang dilaluinya seperti tidak berarti karena kelulusannya hanya ditentukan oleh enam jam waktu total Ujian Nasional yang terdiri dari tiga mata pelajaran. Dengan itu, enam jam itu menjadi terasa sangat berharga, melebihi timbunan emas di kamarnya. Enam jam itulah momentumnya.
Setiap gerak waktu memiliki catatan nilainya sendiri dalam pandangan Alloh Yang Maha Memperhatikan. Alloh tidak hanya menitikberatkan penilaianNYA pada karya yang tercipta pada suatu masa, tapi juga dari sisi pemanfaatan setiap momen yang disuguhkanNYA, seberapa mampu kita tidak menyia-nyiakannya. Maka dengan itu, kita dapat memahami, mengapa Rosululloh SAW sangat mewanti-wanti umatnya agar pandai dalam mengelola waktu; “Tidak akan melangkah kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ditanya empat perkara. Usianya, untuk apa ia habiskan. Masa mudanya, bagaimana ia habiskan. Hartanya, darimana didapatkannya dan pada jalan apa dikeluarkannya. Serta Ilmunya, apa yang telah ia perbuat dengannya”. (HR. Al-Bazzar dan Thabrani).


Part 1...

Senin, 16 April 2012


Rindu Suasana UTS
Unik, menarik, dan asik. Mungkin kata-kata itulah yang bisa menggambarkan suasana saat UTS berlangsung maupun beberapa hari sebelumnya. Unik, karena momen UTS membuat perilaku sebagian besar mahasiswa berubah cukup drastis, dari yang tadinya amalnya biasa-biasa saja, ketika menjelang atau selama UTS menjadi manusia sholeh atau “alim’’. Sholat dhuha sering, shodaqoh rajin, belajar apalagi. Momen UTS ini juga terasa menarik karena kondisi di atas terjadi secara musiman, laiknya buah-buahan. Mushola-mushola dipenuhi mahasiswa yang sedang berdebar menunggu ujiannya hari itu. Lebih dari itu, momen UTS ini juga terasa asik karena waktu luang menjadi semakin banyak dengan diberhentikannya secara sementara kegiatan-kegiatan nonakademik. Khusus bagiku, keasikan ini terasa ketika melihat perubahan mayoritas mahasiswa yang menjadi semakin kalem dan sholeh, masjid sering dikunjungi, dan kebaikan-kebaikan lain yang turut rutin dilakoni.
Kebiasaan-kebiasaan di atas, seperti sholat dhuha, shodaqoh, sholat berjamaah, dan kebaikan lainnya memang baik, tapi ada yang sangat disayangkan, yaitu kembalinya mahasiswa ke kondisinya seperti sebelum UTS. Ketika UTS sudah selesai dieksekusi kebiasaan-kebiasaan seperti melaksankan sholat berjamaah di masjid, sholat Dhuha, dan shodaqoh yang dulu sering dilakukan malah menurun, bahkan tidak pernah lagi, tidak sama seperti saat UTS berlangsung di mana pengunjung mushola menjadi semakin ramai. Ada apa dengan ini?
Hanya ingin memberitahu bahwa Alloh lebih menyukai orang yang beramal secara rutin dan kontinu daripada insidental. Alloh tidak akan pernah bosan memperhatikan amal kita sampai kita sendiri yang merasa bosan. Mudah kan? Dengan demikian, sebenarnya kita diutamakan agar beramal yang ringan, berkualitas, dan kontinu, tidak perlu bersusah payah beramal yang malah memaksakan diri. Inilah salah satu kebaikan dari Alloh. Pokoknya, dalam beramal, usahakan yang tidak memberatkan diri ya... Walaupun terasa kecil dan ringan, yang penting harus istiqomah atau rutin dilakukan. 
Okeh? Okelah… Semangaat\\(^_^)//


Minggu, 08 April 2012


Sadarilah, Jangan Mau Jadi Wanita Murahan!
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
“14-02-12 = 0” Valentine’s day is end!  Atas semangat itulah, para aktivis menginisiasi Hari Menutup Aurat Internasional. Selain itu, kondisi sebagian besar anak muda di dunia yang sedang mengalami degradasi moral menjadi alasan utama perlunya kegiatan ini diselenggarakan, bahkan berskala internasional.
Hari valentine sejatinya bukanlah hari kasih sayang. Hal itu merupakan tipu muslihat yang disebarluaskan oleh Negara Barat (Amerika, dkk). Mereka  menginginkan generasi muda dunia hancur sehingga nantinya mereka dapat mengendalikan banyak Negara sesuai dengan keinginannya, seperti memeras kekayaannya, maupun potensi2 lain yang dimiliki Negara tersebut, atau istilah kerennya yaitu menjadi Negara Boneka. Sungguh mengerikan. Rencana jahat ini dilakukan karena mereka merasa bahwa untuk merebut kekuasaan suatu Negara, peperangan tidak lagi efektif dan efisien karena dapat menghabiskan banyak dana. Di samping itu, kegigihan pasukan Negara Muslim yang tidak takut mati, tapi malah mencari mati, membuat mereka kalang kabut, tidak bisa menghancurkan. Memalukan bukan!!
Pada Hari Valentine banyak kemaksiatan yang terjadi, seperti pesta shabu, miras, hingga free sex. Na’udzubillaah. Sayangnya, sebagian besar korbannya adalah wanita. Makhluk mulia nan indah yang dominan perasaan ini, menjadi korban “ungkapan cinta” dari para lelaki. Sungguh cerdas para lelaki, dengan logika yang mendominasi otaknya, mereka membungkus nafsunya melalui kalimat “Aku mencintaimu…” tapi camkan wahai wanita! Ketika kalimat itu dilontarkan oleh mereka tanpa keseriusan untuk menuju jenjang pernikahan, sebenarnya kalimat itu berbunyi “Aku ingin berzina denganmu…”. Sangat bejat! Maka berhati-hatilah. Segera bentengi hati dan fisikmu.
Bentengi hati dengan pemahaman bahwa zina akan merendahkan derajatmu melebihi binatang, bahkan walau hanya bersentuhan dengan lawan jenis ketika belum halal. Kemudian bentengi fisikmu dengan menutup aurat yang benar. Maksudnya, tidak memakai pakaian yang ketat atau menarik perhatian para lelaki, tidak mengeluarkan kata-kata yang “mengundang”, serta tidak menggunakan parfum yang menyengat hidung. “Berlebihan, itukan tergantung Si Cowo. Kalau Si Cowo ngeres sih, apa aja bikin nafsu..” Tolong jangan katakan itu. Bukankah kalian tahu, meski laki-laki tampak alim dan suci, ada syaithan yang super ngeres yang bisa hinggap di manapun ia suka?
Menutup aurat (mengenakan jilbab) tidak harus menunggu baik atau sholehah. Kalau punya, segera konsistenkan pemakaiannya, nantinya Alloh akan membantumu memperbaiki dirimu. Selain itu, Jilbab jangan sampai membelenggu karaktermu. Berjilbab bukan berarti harus menjadi pendiam. Berekspresilah sejauh Islam membatasimu. Sebagai contohnya, ada Siti ‘Aisyah yang manja dan ceria, bahkan pencemburu, tapi ada juga yang kalem seperti Khadijah. Hayo, pilih mana?
Yakinilah, bahwa ketika kamu sudah sempurna menutup aurat, kamu tidak lagi menjadi seperti baju obralan murahan yang bisa dipegang-pegang dan diacak-acak oleh siapapun, padahal tidak beli. Sekarang kamu sudah menjadi sosok jelita nan anggun yang senantiasa dirindukan oleh lelaki baik-baik. “….lelaki yang baik2 hanya untuk wanita yang baik-baik”(Alloh SWT). Ingat itu. Jika kamu konsisten menutup aurat, bukan tidak mungkin bahwa kamu akan mendapatkan lelaki baik-baik yang istimewa yang akan menemanimu melewati lika-liku kehidupan(ups!). Mau kan? Ayo tunggu apa lagi? Segera tutup auratmu dan perbaiki akhlakmu secara bertahap tanpa kenal jemu.
Wassalamu’alaykum Wr. Wb \(^_^)/
                             “Hari Menutup Aurat Internasional, 14 Pebruari”